Maaf

62 45 0
                                    

"Maaf", ucap Mas Yangsa lalu terdiam membisu sesaat mendengar semua keluh kesahku. Seketika aku pun ikut terdiam dan seakan baru sadar mungkin sikapku sudah terlalu berlebihan saat itu. Kulirik pelan-pelan ke arah Mas Yangsa. Terlihat dari wajahnya menunjukkan dia juga sedang tidak baik-baik saja. Hati kecilku pun lalu bicara, sebenarnya kejadian tak menyenangkan hari itu juga bukan atas dasar keinginan Mas Yangsa. Tak seharusnya aku marah padanya, karena jelas-jelas itu juga bukan salahnya. "Aku yang salah, maafin aku ya. Seharusnya aku bisa lebih santai dan gak gampang kesulut emosi kaya tadi", ucapku pada Mas Yangsa dengan penuh penyesalan. Kulihat dia hanya tersenyum, lalu tiba-tiba dia mengusap-usap kepalaku. Aku terkejut dan jadi salah tingkah. Kupikir saat itu dia diam karena marah, namun ternyata sikapnya menunjukkan kalau dia juga merasakan apa yang kurasa. Sejenak kami pun saling pandang, seakan bicara dari hati ke hati tanpa saling mengungkapkan. Nyatanya kami memang saling cinta. Berharap untuk bersama selamanya. Sesaat kemudian Mas Yangsa meraih dan kemudian menggenggam tanganku. "Aku cinta kamu Kasih, maaf udah bikin kamu gak yakin. Maaf juga udah bikin kamu kecewa", ucap Mas Yangsa sambil terus menggenggam kedua tanganku. Saat itu suasananya kembali jadi sendu. Melihat aku menangis, Mas Yangsa kembali mengusap-usap kepalaku dan menghapus air mata yang jatuh di pipiku. Aku tak bisa berkata-kata saat itu. Di hatiku hanya ada perasaan sesal karena tak bisa selayaknya Mas Yangsa yang sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan cinta. Baru saja aku menghadapi tantangan saat bertemu keluarganya. Nyatanya aku kalah dengan emosiku sendiri dan terkesan mudah menyerah begitu saja.

"Jangan nangis. Aku gak mau kamu nangis lagi. Lihat itu alis kamu sampe luntur", ucap Mas Yangsa dengan polosnya. Seketika aku tertawa sambil mengusap air mata. "Ini eyeliner, kalau alis itu di atas mata ga mungkin luntur", jawabku sambil menunjuk kelopak mataku. Mas Yangsa pun kemudian tertawa sambil menunjukkan fitur kamera depan di ponselnya. "Liat deh, kamu mirip pesulap yang di televisi. Tatap mata saya!", ucap Mas Yangsa meledekku sambil tertawa. Kulihat diriku dari kamera ponselnya, sontak aku pun terbahak melihat wajahku yang menghitam karena kelunturan eyeliner di area mata. Kubuka tasku saat itu, lalu mengambil tisu basah yang selalu kubawa untuk mengelapnya. Mas Yangsa terus memandangiku sambil tak hentinya tertawa. Suasana saat itu pun pelan-pelan kembali hangat seperti sedia kala. Dengan kendaraan umum Mas Yangsa pun mengantarku pulang seperti biasanya. Kami pun sempat mampir sebentar untuk makan di angkringan tenda. Setelahnya Mas Yangsa kembali mengantarku dan memastikan aku benar-benar pulang dengan aman. "Kamu yakin gak apa-apa sendiri? Beneran berani?", tanya Mas Yangsa kepadaku sesaat kami sampai di depan rumah. Sejenak aku terdiam dan mengangguk sembari tersenyum menatap wajahnya. Kupikir Mas Yangsa sudah seperti ayah dan ibu yang seakan lupa usiaku sudah 22 tahun dan terbiasa hidup sendiri saat itu. "Tenang aja Awi, semua aman terkendali", jawabku berusaha meyakinkannya. "Seriusan nih? Aku g perlu sampe nginep di sini kan?", tanya Mas Yangsa kembali sembari menggodaku. Seketika aku pun tergelak, meskipun aku tahu saat itu dia hanya bercanda. Namun dengan tegas aku menjawabnya. "Iya kali, harus punya lisensi resmi dulu. Mau diamuk massa". Seketika kami pun kembali tertawa bersama.

Semenjak malam itu hubunganku dan Mas Yangsa sudah kembali membaik dan tak lagi larut dalam emosi. Kami terus berkomunikasi setiap hari dan berusaha bertemu untuk sekedar melepas rindu. Bagaikan kembali kasmaran aku dan Mas Yangsa rasanya ingin selalu bersama berdua. Hari-hari kami lalui tanpa terasa liburan musim panasku telah usai. Sesaat kemudian dalam beberapa waktu, aku harus kembali melanjutkan kuliahku. "Perasaan baru kemarin kamu datang. Gak kerasa bentar lagi kamu harus pergi. Besok aku anter kamu ya! Kita ketemu di Bandara", ucap Mas Yangsa dengan wajah sedih. "Gak usah Awi, besok aku flight jam 3 pagi. Aku gak mau kamu kesusahan sendiri. Nanti kita bisa video call aja ya", pintaku padanya. Namun, bagai mengaktifkan mode batu, Mas Yangsa kembali tak mau mendengarkanku saat itu. Dia tetap bersikeras untuk mengantarkanku. Tak ingin membuatnya kecewa, aku pun mengiyakannya sembari berharap dia akan baik-baik saja.

Pagi itu, aku tiba di Bandara dengan ayah dan ibu yang sudah bersiap untuk ikut mengantarku. Pelan-pelan aku meminta mereka untuk sedikit menunggu dengan alasan Mas Yangsa akan datang menemuiku saat itu. Syukurlah ayah dan ibu pun setuju, namun sudah hampir setengah jam tak terlihat juga kedatangan Mas Yangsa. Tak ingin lagi menunggu lama, ayah dan ibu pun memperingatkanku bahwa kami tidak bisa bermain-main dengan waktu saat itu. Akhirnya kuputuskan mengikuti permintaan mereka untuk segera melangkah memasuki boarding lounge. Dengan berat hati kukirimkan pesan kepada Mas Yangsa. "Awi, aku berangkat ya. Kamu baik-baik. Tunggu aku ya. Sampai ketemu lagi nanti. Aku sayang kamu". Aku sengaja tak meneleponnya saat itu. Sejujurnya aku merasa sedikit kecewa, karena Mas Yangsa seakan tak bisa berpegang teguh pada janjinya. Namun, kembali lagi aku berusaha untuk mengerti kondisi dan situasi sebab dari awal aku pun sudah mengingatkan dan tak ingin membebani Mas Yangsa.

Beberapa kali kulihat layar ponselku. Tak ada kabar darinya. Sampai tiba di dalam kabin, tiba-tiba ponselku berdering menunjukkan panggilan telepon dari Mas Yangsa berbarengan dengan informasi bahwa sesaat lagi pesawat akan bersiap untuk take off membuatku ragu untuk menjawabnya. Beberapa kali Mas Yangsa terus meneleponku, sehingga membuatku panik dan bingung sendiri. Seakan tahu gelagatku, pramugari pun menghampiri dan memintaku untuk segera menonaktifkan ponselku saat itu. Aku pun mengangguk dengan memberi isyarat akan segera melakukannya. Sesaat kemudian tiba-tiba layar ponselku menunjukkan notifikasi pesan dari Mas Yangsa. "Tolong angkat teleponnya penting!!!".

Seketika tubuhku gemetaran dan jadi kepikiran. Apa yang terjadi dengan Mas Yangsa? Apa dia baik-baik saja?

Ya, Tuhan. Aku harus bagaimana?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang