Kamu kemana aja sih? Kok sekarang sering banget hilang dan gak ada kabar??", protesku kepada Mas Yangsa dalam bentuk kiriman pesan. Kutunggu sampai beberapa jam, tak terlihat juga dia membalas pesanku. Rasanya aku mulai benci dan tak tahan untuk emosi saat Mas Yangsa mengaktifkan mode acuh tak acuh seperti itu. Seakan menjadi kebiasaan baru, dia terkesan sengaja tak peduli dengan keberadaanku. Sudah kurang lebih dua minggu sikapnya begitu kepadaku. Sulit untuk menahannya lagi-lagi aku pun jadi rungsing sendiri. Tak ingin terus berlarut-larut akhirnya sekuat tenaga aku berusaha untuk menyibukkan diriku dengan menjalani berbagai aktifitas yang membuatku lupa dengannya. Sampai pada akhirnya aku dan Mas Yangsa ada di tahap hubungan yang tidak saling berkabar dan tidak saling memedulikan. Mungkin kami sudah sama-sama jenuh saat itu. Aku dan Mas Yangsa seakan tak tahu bagaimana kelanjutan hubungan kami ke depannya.
Hingga pada suatu hari. Aku bertemu lagi dengan kak Alex. Pertemuan itu sesungguhnya tidak didasari dengan kesengajaan. "Kasih, kamu di sini juga?", terlihat lambaian tangan kak Alex memanggilku. Tanpa berjanjian kami bertemu di Perpustakaan kota. Dan semenjak hari itu aku dan kak Alex jadi lebih sering berkomunikasi bahkan janjian untuk bertemu hanya untuk sekedar berbicang dan menjalani sesi curhat. Kami bisa sharing pendapat dan bicara tentang apapun. Entah mengapa saat itu aku jadi merasa kak Alex bagaikan sosok pendengar yang baik. Meskipun baru beberapa waktu mengenalnya, namun seakan dengan mudah dia bisa mengerti dan memahami perasaanku. Seketika aku mulai nyaman bicara dan malah jadi lebih senang bertukar pikiran atau sekedar meminta berbagai pendapat dengannya. Tanpa sadar kedekatanku dengan kak Alex membuatku semakin jauh dan semakin berjarak dengan Mas Yangsa. Apalagi kak Alex mendadak jadi selalu ada untukku disaat aku merindukan sosok kehadiran Mas Yangsa.
"Dulce kamu baik-baik aja? Sudah lama kita gak saling berkabar? Maaf kalau aku gak bisa selalu ada untuk kamu", tiba-tiba saat itu Mas Yangsa mengirimiku sebuah pesan. Sesaat kemudian aku kembali menyimpan ponselku ke dalam tas dan sengaja tak langsung membalasnya. Kupikir sia-sia saja Mas Yangsa kembali menghubungiku dan seakan terlambat rasanya jika dia ingin kembali memperbaiki hubungan kami yang sudah benar-benar merenggang saat itu. Tak ingin lagi diacuhkan, aku sudah mulai lelah dengan sikap Mas Yangsa yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Kupikir sudah waktunya untuk kami saling melepas ikatan dengan tidak saling menyakiti dan membebani satu sama lain lagi. Kumantapkan hatiku saat itu. Mungkin memang jalan yang terbaik untuk aku dan Mas Yangsa adalah sama-sama menyelesaikan hubungan.
"Terimakasih untuk semuanya yang udah kita lalui. Maaf untuk hubungan kita yang harus diakhiri seperti ini. Jaga diri kamu baik-baik ya. Sekali lagi aku minta maaf", begitulah isi pesan menyakitkan yang kusampaikan pada Mas Yangsa. Beberapa kali pesan tersebut aku hapus dan kemudian kutulis kembali sampai pada akhirnya benar-benar kukirimkan padanya. Bagaikan mimpi burukku selama ini. Aku benar-benar meyakinkan diriku kalau itulah yang terbaik untuk kami. Saat itu aku berdoa hubunganku dan Mas Yangsa akan tetap baik-baik saja. Aku pun berharap kita masih bisa menjadi sahabat meskipun sudah tak lagi berstatus pacaran. Beberapa waktu pesanku itu dikirimkan, sesuai yang kuduga tak kudapati juga balasan pesan langsung dari Mas Yangsa. Saat itu aku yang akhirnya sudah terbiasa semakin lebih yakin mungkin keputusan putus yang kuutarakan adalah pilihan terbaik untuk kami berdua. Dengan penuh keyakinan aku benar-benar mengakhiri semuanya. Tanpa menunggu balasan pesan dari Mas Yangsa, kututup rapat-rapat semua kenangan indahku bersamanya. Bahkan saat itu aku sampai mengganti nomor ponselku dan sengaja menutup semua akun sosial mediaku.
Kujalani hari-hariku tanpa cinta dari Mas Yangsa. Tak ingin galau berkepanjangan, aku terus fokus menjalani kuliahku dan segala rutinitasku yang ada. Sampai akhirnya tiba waktu untukku menyelesaikan kuliah dan kemudian menjalani wisuda. Dengan penuh rasa syukur aku begitu merasakan perjuangan dan perjalanan panjangku selama ini tak sia-sia, sesaat setelah aku bisa meraih gelar sarjana. Di salah satu momen spesial itu tiba-tiba aku terbayang akan Mas Yangsa. Teringat jelas proses yang kulalui sebelumnya. Tiba-tiba air mata menetes di pipiku. Seketika aku jadi merindukan Mas Yangsa. Seharusnya dia ada melengkapi kebahagianku di hari itu. Perasaan sedihku itu sesaat berusaha kusembunyikan begitu kulihat ayah, ibu dan kak Miraj datang mengucapkan selamat dan memberiku pelukan hangat.
"Congratulation sweetheart! Syukurlah belum begitu terlambat", terlihat dari jarak beberapa meter oma berteriak kepadaku. Seperti kejutan manis, oma juga datang di momen wisudaku saat itu. Aku berlari kecil menghampiri oma. Tak kusangka oma sampai jauh-jauh datang untuk memberikan selamat kepadaku. "Terimakasih oma. I love you!", bisikku pelan dan kemudian memeluknya. Dengan penuh senyum oma membalas pelukanku dengan kecupan manis di pipiku. "Oma punya hadiah spesial, so please close your eyes!", pinta oma membuatku penasaran. Kuturuti perintah oma saat itu dengan benar-benar menutup mataku sembari menerka-nerka hadiah apa yang akan oma berikan. Oma menghitung dari 1 sampai 3 lalu kemudian memintaku membuka mata. Dengan penuh senyum di wajah, aku pun kembali menuruti permintaan oma. Pelan-pelan kubuka ke dua mataku. Lalu, tiba-tiba pandanganku benar-benar dikejutkan saat itu. Seakan tak percaya dengan seorang dihadapanku.
"Mas Yangsa? Datang menemuiku?"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...