-Untuk senyuman yang menjadi duniaku-
....
Setelah dari makam Rinai, Shaheen juga mampir ke makam Zaskia, orang tua kekasihnya. Semenjak tau, Shaheen selalu berziarah kesini, walau hanya sekedar bercerita tentang bagaimana hubungan mereka, hari-hari yang mereka lalui dan sebagainya.
Afkar menatap Shaheen dari balik pohon besar, sudah dua kali dia memergoki gadis itu berkunjung kesini.
“Bun, Kak Afkar nggak akan ninggalin Shaheen, kan?”
“Aku takut banget jika hal itu terjadi, dia udah bilang bakal ada disisi Shaheen terus, tapi nyatanya? Sekarang dia malah nyakitin aku.” Air mata Shaheen meluncur begitu saja, perasaannya sangat sensitif dengan kondisi hubungannya saat ini.
Afkar hanya melihat Shaheen dari kejauhan, ia menatap iba kepada gadis itu karena sudah membuatnya sedih, “Maaf Shaa.” Hanya itu kalimat yang mampu ia katakan.
Tak lama seseorang mendekat kearah Shaheen, menghentikan langkah Afkar saat melihat ayahnya datang.
“Kamu?” tanya Brams menatap Shaheen.
“Halo, om,” Shaheen menyalami tangan Brams.
Keduanya kini diselimuti dengan keheningan, Shaheen, gadis itu benar-benar takut sekaligus gugup saat ini.
“Shaheen, boleh Om tanya sesuatu?”
“Apa Om?” jawab Shaheen ragu-ragu.
Brams akhirnya mengukir senyum tipis sebelum menyampaikan maksudnya. “Apa orang tua kamu masih hidup?”
Shaheen menggeleng lemah, “Udah gak ada Om, aku___” ucapan itu terhenti membuat Brams mengernyitkan keningnya.
Bayangan dimana Shaheen melihat kedua orang tuanya menghembuskan nafas terakhir dan kejadian yang menimpa Rinai berputar secara bersama di kepalanya. Tubuh gadis itu bergetar hebat, ia mengerang kesakitan lalu memukuli kepalanya.
“Aaaaarrrggh!” pekik Shaheen luruh ke tanah, Brams seketika panik.
“Shaheen? Kamu kenapa?” risau Brams.
“Pah? Kenapa dia bisa seperti ini? Papah ngomong apa?” Afkar langsung mengangkat tubuh Shaheen tanpa menunggu kalimat ayahnya, lalu membawa Shaheen pergi dari sana.
•°•°•
“Bisa nggak? Lo ambil sendiri, capek gue mondar-mandir kedapur, anjir!” decak Restu kepada Langit, saat ini Black Moon kembali berkumpul di salah satu markas tersembunyi mereka, yaitu bangunan kosong yang di dalamnya sudah mereka tata semenarik mungkin.
“Ngambil gini doang capek segala lo bang, gimana ngambil harta orang!” ketus Langit.
“Maling maksudnya,” imbuh Dewa.
“Kagak! Ngepet!” koreksinya dengan kesal.
Ketiga pria itu terus saja heboh disaat keempat laki-laki lainnya hanya sibuk dengan diri masing-masing. Bangunan kosong itu kembali mereka kunjungi setelah menerima surat rival privat dari Agarish.
“Ck! Gue dilema bang!” decak Langit mengingat surat itu.
“Dilema kenapa lo? Cewek?” sahut Bromo.
“Bukan!”
“Terus?”
“Kita terima apa enggak? Gue sih sebenernya udah kepengen banget olahraga dengan noda merah, tapi si bos masih aja hening, heran dah!” keluhnya melirik sang ketua.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFKAR
Teen FictionTerbit! TYPO BERTEBARAN DIMANA MANA! PASSWORD : FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TERIMAKASIH. -Untuk senyuman yang menjadi duniaku- Tentang sebuah persembunyian geng motor yang tak terkalahkan, dinobatkan sebagai raja jalanan, membuat posisi itu banyak...