Sihir teleportasi Aiden berhenti di ujung gang pasar. Panasnya sinar mentari begitu terik, pakaian dari beberapa orang di sini juga sangat berbeda. Tilly berdecak kagum dan menoleh pada suaminya, "Ini?"
"Pantai, tujuan pertama kita." Balas Aiden dengan senyuman manis, "Ayo belanja dulu."
"Baiklah, suami."
Mereka berjalan bersama dengan tangan yang berdekap, mengamankan diri dari ramainya jalanan pasar. Mata Tilly berhenti pada sebuah toko yang menjual aksesoris lucu.
"Bisakah kita membeli topi?" tanya Tilly menunjuk toko tersebut.
Tanpa berpikir banyak tentu saja Aiden mengangguk, ditariknya tubuh sang istri sehingga berhenti tepat di depan toko aksesoris. Selain ada topi, di sana juga terjual beberapa gelang atau barang kecil yang menggemaskan.
Tilly mengambil sebuah topi berwarna kuningdan menggantungknnya dikepala Aiden. Sedikit ada usaha untuk memasangnya, kaki wanita itu berjinjit begitu tinggi hingga bisa menyelesaikan apa yang ia mau.
"Topi kuning?" Aiden menyentuh topi di kepalanya penuh keheranan.
Tertawa, Tilly menunjuk rambutnya, "Sama seperti ini."
"Bukankah rambutmu berwarna orange, istri?"
"Huh? Kupikir ini berwarna emas?"
Aiden menggeleng dan tetap mempertahankan pendapatnya, "Emas sedikit ke orange."
Merasa perdebatan ini tak akan selesai, Tilly pun dengan senang hati mengalah. Ia melirik sekumpulan topi yang dipajang, "Pilihkan satu untukku, suami."
Menatap serius sekumpulan topi dengan warna yang beragam, Aiden berpikir mana yang cocok untuk istrinya, "Kupikir ini cocok untukmu, istri."
Sebuah topi putih cerah diambilnya, dengan hiasan bunga berbentuk mawar di sisi kanan topi tersebut, begitu cantik. Tilly merasa puas dengan pilihan suaminya, "Kenapa tidak memilih topi warna hitam untukku? Itu akan sama dengan warna rambut suami."
Aiden menggeleng kecil, "Warna hitam terlalu gelap untukmu, aku tidak akan memberikannya."
Seorang penjual, nenek tua, tertawa mendengar apa yang dikatakan Aiden. "Hahaha, suamimu sangat manis, nak. Dari mana asal kalian berdua?" tanya penjual itu.
Tilly menoleh, "Kami dari Kekaisaran Abigail, nek."
"Ah?" penjual itu tampak terkejut, "Dari kekaisaran yang begitu megah itu? Aku tidak mengerti mengapa penduduknya bisa berada di sini. Kekaisaran Abigail sangat didambakan semua orang untuk dikunjungi, itu termasuk aku sendiri, hahaha."
Aiden menarik pundak Tilly ke dalam pelukannya, "Kami berlibur dengan mencari suasana baru, nek. Pantai merupakan salah satu dari daftar liburan kami."
"Hoho, kalau begitu kuharap liburan kalian menyenangkan. Biarkan aku memberi kalian sesuatu, tunggu sebentar."
Tubuh rimpuh penjual itu sedikit gemetar saat beranjak dari kursinya. Ia mengambil sebuah anting pasangan dengan warna yang cantik. "Anting ini sangat untuk kalian," ujar sang penjual selagi menyodorkan antingnya.
Sepasang anting terbentuk indah dengan warna emas bercampur hitam elegan. Tilly mengangguk setuju, "Kami akan membeli yang ini juga, nek."
Penjual menggelengkan kepalanya pelan, "Jangan dibayar untuk antingnya. Aku hanya suka melihat pasangan muda yang mesra, berharap anting ini bisa menambah kemesraan kalian."
Aiden tersenyum, "Pasangan muda? Kupikir julukan itu sedikit salah, nek, kami sudah lama menikah."
"Benarkah? Apakah kalian sudah memiliki buah hati?"
"Tentu," Tilly mengangguk senang, "Kami memiliki dua anak. Yang tertua sudah menginjak usia dua puluhan."
Si penjual menutup mulutnya terkejut, "Astaga, benarkah? Kalian berdua benar-benar awet muda. Lihat wajah tanpa keriput itu, aku tidak bisa menahan diri untuk iri!"
Setelah menyelesaikan pembayaran, Aiden menuntun istrinya menuju pesisir pantai.
Angin berhembus kencang bersamaan ombak yang menerjang. Tilly memegang ujung topinya yang hampir terbang, bertanya, "Cari tempat teduh?"
"Mmh," Aiden mengangguk setuju. Melangkah di bawah payung yang disewakan, lelaki itu menepuk pangkuannya setelah duduk, "Kemari."
Tilly tanpa keberatan sedikit pun segera duduk di pangkuan suaminya. Menghadap pantai dengan ombak kecil yang terus melaju ke depan, angin berhembus memainkan rambut emasnya, riuh pengunjung lain samar-samar mengetuk indra pendengaran Tilly.
"Oh iya," Tilly mengerjapkan matanya seolah telah mengingat sesuatu yang penting, Segera ia merogoh saku dan menarik sepasang anting dari situ. "Mari kita memasang ini," bisik Tilly dengan nada bersemangat.
Aiden sedikit menunduk agar bisa melihat wajah sang istri, "Apakah istri yakin? Telinga kita sama-sama belum dilubangi."
"Kita bisa melubanginya sekarang. Suami bisa menggunakan sihir penyembuhan."
"Tetap saja, itu akan terluka dan sakit ...."
Tilly tampak sedikit kecewa dengan penolakan dari suaminya, "Yah ... kalau itu yang suami inginkan, baiklah."
Aiden tentu saja sadar terhadap respon Tilly yang begitu murung. Lelaki itu menghembuskan napasnya, "Pasanglah di telingaku dulu untuk sekarang. Besok kita akan mencari seorang ahli untuk melubangi milikmu, istri."
"Hm? Jangan aku saja, biarkan telingamu dilubangi oleh seorang ahli juga, kita tunggu besok."
"Tidak apa, aku ingin anting itu terpasang dari tanganmu langsung, istri."
Tilly agak ragu sebentar lalu akhirnya mengangguk. Wanita itu memutar tubuhnya sehingga mereka duduk berhadapan, Tilly berhati-hati memegang telinga Aiden yang bersih tanpa luka.
Melubangi telinga itu lebih baik secara perlahan daripada menusuknya dengan kasar. Jarum yang berada di anting begitu tajam sehingga terpasang sempurna, sedikit darah keluar namun Tilly segera mengusap darah tersebut menggunakan kain lapnya.
Aiden tersenyum puas tanpa menunjukkan ekspresi kesakitan sedikit pun. Ia memegang telinganya yang sudah terpasang anting, "Apakah cocok untukku?" tanya lelaki itu dengan tatapan menggoda.
Tilly tak berniat malu-malu. Dengan terus terang ia menjawab, "Tampan sekali. Ini siapa, ya? Aku jadi ingin menikahinya."
"Haha, aku suamimu." Aiden menarik istrinya mendekat, ujung hidung mereka bersentuhan dengan mesra. Melihat wajah Tilly yang tampak begitu berseri-seri dari biasanya, lelaki itu tak sabar berbagi dekap dan kehangatan.
Tilly dengan nyaman membalas pelukan suaminya, "Aku memiliki suami yang tampan."
"Istriku juga sangat cantik."
Dada bidang Aiden begitu nyaman untuk jadi sandaran, bahkan suara detak jantung dari sana terasa merdu. Tilly berlama-lama dalam kehangatan itu seolah tengah mengisi energinya.
"Istri, lihatlah pantai itu." Aiden mengguncangkan tubuh istrinya. Tidak bergerak, sekali lagi Aiden mengguncangnya.
"Istri?"
Ada yang salah. Aiden menatap istrinya yang tiba-tiba menutup matanya tak bergerak. "Istriku, kau tidur?" tanya Aiden dengan tenang walau hatinya kacau tak karuan.
Terus berusaha membangunkan Tilly, ketenangan itu pun akhirnya surut. Aiden segera menggendong istrinya dan berteleportasi ke tempat pengobatan. Tangan yang ia gunakan untuk menggendong bergetar, benaknya gagal untuk terus berusaha tenang.
Tok tok tok
Aiden mengetuk sebuah pintu rumah sederhana, keberadaannya di tengah hutan. Ketukan yang diciptakan aiden juga begitu semberono hingga seorang pria tua datang dari dalam.
"Hei, siapa yang mengganggu tidur-"
"Kakek," Aiden memohon dengan air mata yang sudah turun, "Tolong sembuhkan istriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END-TERBIT] Get Married with Monster
FantasyPerjodohan Tilly dan Aiden adalah monokrom, bak air tenang hingga Julian datang. Tiba-tiba membuat Aiden mengusulkan proposal perceraian. Tilly dimabuk amarah, gadis itu yakin penyebabnya adalah Julian. Segala cara Tilly lakukan demi membunuh nyawa...