41 - Tawanan

207 16 2
                                    

Happy Reading

Ariana tidak bisa berhenti gelisah. Kepalanya terus berputar pada hal yang dia lalui hari ini. Lelaki tua dengan perawakan besar itu seperti mengetahui sesuatu tentang dirinya. Belum lagi mereka bilang, dia seharusnya sudah mati saat memasuki bangunan itu? Dan bagaimana bisa para kesatria mengatakan dia sudah menghilang selama 3 jam padahal dia berada dalam bangunan itu kurang dari 5 menit.

"Sebenarnya tempat apa itu?"

***

Ariana tidak memiliki waktu untuk banyak berfikir. Ia harus menemukan cara untuk bisa melepaskan diri dari William. Ia tidak akan membiarkan William mendapatkan informasi apapun darinya.

Suasana hening diantara keduanya hanya diisi dengan 2 orang yang terlihat menikmati teh mereka tanpa berniat memulai pembicaraan.

"Bisa kau ceritakan apa yang terjadi kemarin?" William akhirnya memulai pembicaraan dengan mata yang masih fokus pada cangkir tehnya.

"Aku hanya berjalan - jalan, lalu tanpa sadar matahari sudah tenggelam. Tapi, karena sudah malam aku tersesat sampai akhirnya menemukan pasukan kesatria." Ariana mengatakan cerita sederhana yang sudah ia pikirkan sejak semalam.

"Kau tidak pergi ke suatu tempat?" Ariana mengeleng cepat, untuk menunjukkan dirinya yang tidak berbohong.

"Tidak, aku memang beristirahat sebentar, tapi tidak dengan sengaja pergi ke suatu tempat seperti yang kau katakan."

"Bernarkah? Padahal aku menemukan hal menarik semalam." Ariana berkerut bingung, namun jantungnya berdetak sangat keras, membayangkan apa yang Willian temukan untuk memperkuat fakta dari rahasia Ariana.

"Aku meminta Lucas untuk mengikuti jejak kuda dari titik di mana kau ditemukan. Titiknya berakhir di pohon besar, tapi di samping pohon itu ternyata tedapat sebuah kuil tua." William menghentikan ucapannya sejenak untuk mengamati wajah Ariana.

"Jika tebakanku benar, kau mungkin beristirahat di sana. Tapi bagaimana jika kuil itu adalah Kuil Andreas?"

"Kuil Andreas?" Ariana merasa dejavu saat mendengar nama Kuil ini. 

"Benar, satu - satunya tempat dimana para penyihir hidup."

'Jadi orang - orang itu adalah para penyihir'

"Padahal, seluruh rakyat bahkan tahu mendekati kuil itu berarti mati. Aku bertanya - tanya tentang apa yang kau lakukan di tempat itu. Kau tidak sengaja melihat kuil itu atau memang ingin bertemu seseorang di sana?"

"Kau mencurigaiku bekerja sama dengan mereka?"

"Bukankah aneh jika aku tidak curiga?"

"Bukankah aneh jika kau curiga pada adikmu sendiri?" Ariana merasa tak suka saat William menekannya hanya untuk memaksanya mengikuti semua alur cerita yang dibuat lelaki ini.

"Kau memang adikku, tapi bukankah itu hanya luarnya?" Keterkejutan Ariana terlihat dalam sepersekian detik sebelum ekspresinya tergantikan dengan perasaan marah. 

"Jadi, walaupun tubuh ini adalah adikmu, kau tetap akan memperlakukanku sebagai penjahat yang menculik adikmu?" 

"Selama kau masih di dalam tubuhnya, aku akan mencari tahu dimana adikku yang sebenarnya!"

"Hah! Kau mungkin tidak akan sadar kapan ia kembali ke tubuhnya dan kapan aku akan menggantikannya lagi! Lagi pula, kau tidak perlu bertingkah seperti kakak yang sangat menyayangi adiknya. Semua perbuatan yang kau lakukan pada adikmu tersimpan sangat baik di sini!" Ariana menunjuk kepalanya untuk menegaskan semua ingatan yang dimiliki Ariana mengenai keluarganya ini.

"Kau pikir siapa yang membuat dia memilih untuk pergi dan memaksaku untuk menggantikannya sekarang?" Ariana megangkat wajahnya menantang William tepat di hadapannya. 

William mendekati Ariana dengan agresif, mencengkeram kedua bahunya kuat sambil menatapnya penuh amarah. Seakan yakin dengan hipotesanya.

"Dimana adikku?! Apa yang kau lakukan padanya?!" Cengkraman William membuat Ariana kesakitan, tapi ia tidak berniat menujukkan rasa sakitnya pada lelaki ini.

"Bahkan jika aku tahu, aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengannya. Kau tidak akan pernah bisa bertemu dengannya! Biar kuingatkan! Kau memperlakukannya sebagai sampah! Memandangnya saja kau bahkan tidak sudi. Bagaimana bisa anak sekecil itu menghadapi kebencian ayah dan kakaknya atas sesuatu yang tidak dia ketahui alasannya. Dia berakhir di abaikan dan tidak dianggap dalam keluarganya. Kau pikir bagaimana bisa ia anak sekecil itu bertahan hingga sekarang dengan semua kebencian yang ia rasakan sejak kecil di keluarga yang seperti neraka baginya?!" 

"Jaga ucapanmu!" Suara tamparan keras menggema di ruangan yang hanya berisi kedua kakak beradik ini.

"Hah." Rasa linu menjalar hingga ke kepala Ariana yang membuatnya meringis sebentar. William benar - benar mengeluarkan kekuatannya.

"Kau tidak tahu apapun."

***

Ariana pergi meninggalkan vila. Ia menunggang kudanya secepat dan sejauh yang ia bisa. Pikirannya kalut, entah mengapa perasaan kecewa mendominasi dirinya saat ini. 

Bagaimana bisa William bertingkah seakan dirinya yang menyakiti Ariana. Padahal alasan Ariana menyerah dengan kehidupannya di dunia ini adalah karena keluarganya. Jika saja William sedikit peduli, sedikit saja mau mengerti lukanya. Dia pasti tidak akan terjebak dalam kasih sayang semu wanita ular itu. Tidak pula memberikan semua yang ia miliki hanya untuk mengemis kasih sayang dan perhatian dari seseorang yang hanya memanfaatkannya. 

"Hah! Kau tidak tahu apapun?" Ariana meniru apa yang didengarnya sebelum meninggalkan William tadi.

"Jika tidak tahu, seharusnya kau beri tahu! Bukannya memperlakukan adikmu sebagai musuh tanpa penjelasan apapun! Bahkan setelah dia membencimu, kau masih tidak berusaha untuk memperbaikinya! Kau pikir kau layak di sebut saudara?!" Ariana berteriak keras meluapkan semua amarahnya dan semakin memercepat laju kudanya.

Tak lama, ia melihat bangunan yang ia lihat kemarin. Dengan keberanian yang tinggi, Ariana melompat dari kudanya dan berlari menuju kuil Andreas.

Tapi apa yang Ariana lihat? Semua orang melihatnya masuk seakan sudah menunggu kedatangannya termasuk lelaki tua yang mengetahui rahasianya itu.

"Jelaskan padaku apa yang kalian ketahui!"

"Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?" Ariana berfikir cepat apa yang harus dia katakan untuk membujuk orang - orang ini.

"Aku, bersedia melakukan apapun jika kau mau membantuku. Bukankah kau bilang aku seharusnya mati jika melewati pintu itu. Tapi karena aku baik - baik saja, bukankah kau bisa memanfaatkanku?" Ariana mulai merasa terintimidasi oleh tatapan semua orang yang sepertinya berjumlah puluhan orang ini. Tapi anehnya, perasaan terintimidasi ini justru membuat kepalanya pusing.

"Kau yakin kita boleh memanfaatkanmu?"

"Tentu saja, selama yang kalian lakukan adalah hal yang bisa diakukan manusia dan tidak melanggar hukum maka aku akan membantu kalian." Ariana berusaha untuk sadar dengan sesekali mengerjapkan matanya.

"Tapi sepertinya aku lupa memberitahumu lebih lengkap mengenai hal ini. Jika seseorang melewati pintu itu, alasan ia akan mati adalah karena perbedaan waktu yang besar, sehingga menyebabkan tubuh mengalami reaksi yang berlebihan. Seharusnya, sejak masuk ke dalam kuil ini, kau akan mulai mengeluarkan darah dari hidung yang akan menjalar menuju telingamu dan berakhir dengan berhentinya fungsi otak hanya beberapa detik ketika kamu menginjakkan kakimu di dalam ruangan ini. Melihat kau baik - baik saja, sepertinya.."

"Nona!" Belum selesai lelaki tua itu berbicara, Ariana sudah jatuh tergeletak di lantai dingin kuil yang membuat orang - orang mendekatinya.

"Guru, sepertinya dia pingsan. Apakah ini efek lain dari seseorang yang melewati pintu dimensi itu?"

"Bukan, tapi dengan masuk ke kuil ini, dia telah mempercepat kerusakan tubuhnya karena jiwa yang berbeda telah menolak raga baru yang digunakannya."

"Bukankah itu berarti dia akan cepat mati?"

"Benar, tapi sebelum itu, bagaimanapun caranya kita harus menggunakan wanita ini sebagai tawanan yang bisa membebaskan kita dari tempat ini!"

[To Be Continue]

SURVIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang