Twenty Three : Hopeless

516 59 2
                                    

Happy Reading!

Jantung Ariana menghentak keras, dadanya berdebar cepat. Lidah Reon membelit lidahnya, menelusuri setiap rongga dimulutnya dengan erotis. Membuat sensasi berbeda dari ciuman mereka sebelumnya. Ciuman mereka semakin dalam dan intens, tak seorangpun ingin berhenti. Bahasa tubuh Ariana mengatakan bahwa ia ingin lebih. Tanpa memikirkan apapun, Ariana hanya ingin Reon, sekarang..

***

Ariana mengalungkan tangannya pada Reon. Menarik tubuh Reon mendekat padanya. Tangan Reon sudah menjelajah tubuh Ariana. Tangannya kini sudah mengekspose pundak putih Ariana. Bibir Reon bergerak mencumbu rahang menjalar menuju leher dan menyesapnya keras memberikan tanda kepemilikan pada pundak Ariana.

"Aku tidak bisa berhenti sekarang." Reon berbisik sambil mengulum telinga Ariana dan menjilatnya memberi isyarat persetujuan pada Ariana. Perlakuan Reon membuat Ariana melenguh, seluruh tubunya bergetar merasakan keinginan dalam dirinya. 

"Kau ingin kita melakukannya disini?" Pertanyaan Ariana membuat Reon menjuah menatap matanya. Ariana yang merasa Reon menjauh membuka matanya.

Reon melihat mata abu milik Ariana menatapnya sayu, berkabut seakan Reon menyelami mata Ariana. Bibirnya yang sedikit bengkak karena perbuatannya membuat wanita ini terlihat lebih seksi dimatanya.  Reon ingin merasakan lagi bibir itu. 

"Aku tidak peduli dimanapun asalkan bersamamu."

"Bersamaku atau bersama tubuhku?" Perkataan Reon justru membuat gairah Ariana hilang entah kemana. Pikirannya yang kusut membuat semua perkataan Reon terdengar menyebalkan ditelinganya.

"Apakah itu dua hal yang bebeda?" Reon mengerutkan keningnya. Hasratnya masih ia tahan menunggu persetujuan Ariana. Tapi Ariana justru membicarakan topik lain ditengah kegiatan mereka. Membuat Reon berusaha fokus pada ucapan Ariana.

"Bagiku jika kau hanya ingin tubuhku itu berarti aku tidak berbeda dengan pemuas nafsu yang berkeliaran di rumah - rumah bordil." Tubuh Ariana sekarang bukanlah tubuh Ariana yang asli. jika sejak awal Reon hanya melihat fisiknya, bukankah siapapun jiwa didalam tubuhnya bukan masalah. Toh dia tidak akan tahu, siapa didalamnya. Pemikiran ini membuat sudut hati Ariana sakit.

"Kau menyamakan dirimu dengan mereka?" Reon menatap Ariana tak kalah kesalnya. Ia selalu disamakan sebagai lelaki yang hanya menyukai tubuh. Reon tidak serendah itu untuk melakukannya pada siapapun.

"lalu? Apa berbeda? Kau baru saja mengatakannya." 

"Dari kalimat apa yang aku ucapkan yang menyatakan hal itu?! Sekalipun, sekalipun aku tak pernah mengatakannya. Itu semua hanya asumsi dari pemikiranmu!" 

"Bukankah kau baru saja memintanya? Jika aku tidak salah mengartikannya. Tapi jika ucapanmu salah aku artikan, bukankah itu salahmu yang tidak mengatakan dengan jelas padaku. Sudahlah bantu aku berdiri."

"Bahkan kau juga menyukainya! Aku tidak akan memaksa jika kau tidak mau." Walaupun kesal, Reon menuruti Ariana dan membantunya dengan menarik kedua tangan Ariana untuk berdiri.

"Kalau begitu jangan lakukan." Ariana membersihkan gaunnya dari debu - debu yang menempel. Mengacuhkan Reon sepenuhnya

"Kau akan memohon padaku! lihat saja!" Ariana tidak membalas dan berjalan menjauh menuju kuda mereka menunggu.

"Sudahlah, antarkan aku pulang." Ucapan Ariana membuat Reon menyusulnya.

***

Kudanya masih menunggu saat Ariana datang. Biasanya kuda terlatih memang tidak akan bergerak jika tidak diperintahkan, Ariana sudah menebak itu sejak awal. Ariana menaiki kudanya terlebih dahulu, duduk dan menatap Reon yang mendekat dengan wajah kesalnya.

"Jika kau tidak mau, aku bisa pulang sendiri." Reon melompat pada kudanya yang membuat kuda itu terkejut hingga kedua kaki depannya terangkat. 

Ariana yang terkejut menoba berpegang pada tali kekangnya. Tapi kaki kuda yang terangkat membuat tubuh Ariana ikut terangkat. Ariana merasa posisinya seperti patung - patung kuda yang dipahat didunia modernnya. Membuatnya pusing sekaligus takut. 

Ariana memejamkan matanya, berharap ia tidak merasakan kerasnya tanah bebatuan di hutan. Tanpa Ariana sadari seseorang membantunya memegang kekang kuda. Menariknya untuk tenang, dan membuat Ariana ikut merasakan kekuatan besar untuk mengontrol kudanya.

"Kau tidak perlu ketakutan, untuk menarik perhatianku." Ucapan santai Reon membuat Ariana menatapnya tajam. 

"Lain kali aku bisa menunggangi kudaku sendiri."

Reon tidak pernah membayangkan tindakannya akan membuat Ariana takut. Awalnya Reon hanya ingin membuat Ariana terkejut, tubuhnya yang terperanjat memang membuat Reon khawatir. Tapi setelah melihat ekspresi angkuhnya berubah untuk sesaat, cukup menghibur kekesalan Reon.

"Lain kali? Apakah ada lain kali?" Reon tersenyum menggoda menatap Ariana dari samping matanya. Menggodanya ternyata lebih seru.

"Diam! Kau akan pulang atau terus berbicara tak penting?" Reon tidak bisa menyembunyikan tawanya saat melihat semburat merah dipipi wanitanya itu. lucu.

***

Selama perjalanan pulang Reon kembali mengendarai kudanya dengan sangat cepat, menyalurkan emosinya pada Ariana. Ariana terlihat tidak peduli, ia justru tertawa menikmati adrenalinnya yang berpacu lebih besar dari sebelumnya. Reon merasa ia masih kesal, tapi mendengar tawa Ariana justru membuatnya ikut tersenyum menikmati. 

"Kau terlihat lebih baik sekarang."  Saat Reon membantu Ariana, wajanya sangat berseri, hal yang tak pernah Reon liat sebelumnya.

"Ya, hatiku merasa jauh lebih lega. Terimakasih."

"Karena berkuda atau karena cium--"

"Sudahlah, pergi sana!" Potong Ariana, Reon memang selalu merusak suasana yang sudah baik diantara keduanya. Sepertinya, ia memang tidak bisa tak kesal padanya.

"Kau berani mengusir putera mahkota?"

"Bye!" Ariana meninggalkan Reon menuju kastilnya. Ariana yakin perdebatan mereka tak pernah berakhir jika tak ada satupun yang pergi. 

***

Setelah menyelesaikan makan malam bersama keluarganya, Ariana meminta untuk beristirahat. Pikirannya berputar pada perkataan Reon tentang sihir. Jika didunia ini ada sihir bukankah perpindahan jiwanya adalah hal yang bisa dijelaskan. Ariana harus mencari tahu, siapa tahu ia juga menemukan cara bagaimana ia bisa berkomunikasi lagi dengan Ariana asli.

Saat hari mulai malam, Ariana mengendap - endap menuju perpustakaan keluarganya. Ia harus mengetahui apa yang terjadi, hal yang tidak ia temukan dalam buku yang dibacanya saat didunia modern.

Selama berjam - jam membaca buku sihir, Ariana hanya mendapatankan seperti perkataan Reon. Hanya hal - hal dasar tentang kerajaan yang pernah dikuasai oleh para penyihir. Tapi tidak ada penjelasan tentang pemindahan jiwa atau apapun yang dilakukan oleh mereka. Bahkan dari banyaknya penyihir, hanya kekuatan sihir ayahnya yang paling banyak diceritakan, itupun karena mereka banyak membantu perang benua. Sihir lainnya tidak begitu banyak dibicarakan. 

Harapannya pupus. Ariana bingung, ia harus kemana lagi, semua jalan dikepalanya seakan buntu. Padahal awalnya ia berharap menemukan sesuatu, walaupun hanya setitik harapan yang bisa dilihatnya dari semua kegelapan di hadapannya. Hanya satu kata dari ribuan kata yang dibacanya sekarang. Apapun yang membuatnya yakin untuk bisa melewati semua hal yang berkecamuk dikepalanya. Satu saja. 

Ariana benar - benar berharap tuhan menolongnya. Apapun itu yang membuatnya sedikit yakin, hanya satu petunjuk, apapun. Tapi tidak ada, semuanya sia - sia. Tangisnya pecah, ia meratapi dirinya sendiri. Mengapa begitu sulit untuk bisa melewatinya. Emosinya penuh dengan perasaan putus asa. Disaat ia melihat harapan, tapi ternyata itu tetap menjadi harapan yang semakin jauh seperti ilusi.

Bersambung...

Hai :) 

Menurut kalian cerita ini bagus kah? Masihkah harus kulanjut? 

Kalo ada kritik & sarannya boleh banget. 

SURVIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang