Happy Reading!
Ariana sedikit curiga dengan William dan Reon yang langsung pergi setelah keluar dari ruang kerja ayahnya. Apalagi wajah keduanya yang mengeras membuat Ariana semakin penasaran. Keduanya bahkan tidak melirik Ariana yang masih memperhatikan keduanya yang berlalu.
"Lady, sepertinya saya juga harus pergi karena urusan mendesak hari ini." Ucapan Evans membuat Ariana mengalihkan pandangan pada lelaki yang duduk disampingnya ini.
"Ah, karena aku kau harus menunda pekerjaanmu. Maafkan aku, biar aku antar."
"Tidak, aku cukup tahu diri dengan keadaanmu sekarang. Kau bisa mengantarku lain kali. Sekarang, niat baikmu saja sudah sangat membuatku tersanjung." Evans tersenyum manis sambil menatap Ariana lalu memberi salam ala bangsawan sebelum meninggalkan drinya dan Elisabeth.
"Kakaku sepertinya sangat tertarik padamu." Elisabeth berkata sambil manatap punggung Evans yang menjauh.
"Kau gila? Mana mungkin wanita pembuat masalah sepertiku disukai kakakmu yang penggemarnya saja cukup untuk mendirikan satu kota itu?" Evans memang sangat terkenal dengan ketampanan khas lelaki dewasa yang kaya dengan wajah bak dewa.
"Kau tidak tahu? Rumor buruk tentangmu sudah lama menghilang. Semua orang sudah melupakan kelakukan burukmu selama ini. Dari pada mengatakan bagaimana menyebalkannya dirimu dulu, orang - orang lebih penasaran dengan apa yang akan kau lakukan selanjutnya."
"Kenapa kau justru memujiku? Tumben sekali. Bukankah kau harusnya menyadarkan kakakmu jika tidak ingin aku menjadi kakak iparmu?" Ariana tersenyum menggoda menatap Elisabeth. Ariana sangat yakin itu pasti pilihan yang buruk membayangkan wanita menyebalkan yang akan menjadi pendamping kakaknya.
"Sebenarnya, itu tidak buruk juga." Elisabeth justru membalas senyuman Ariana yang membuatnya tercengang.
"Sejak kapan kau menjadi gila?" Ariana tidak bisa menebak apa yang Elisabeth pikirkan, bagaimana bisa ia menyetujui hubungan antara dirinya dengan kakak satu - satunya itu.
"Sejak aku berteman denganmu mungkin? Entahlah, pola pikirmu yang aneh itu sepertinya tidak buruk." Ariana tertawa sumbang mendengar jawaban Elisabeth.
"Aku tidak tahu kau memuji atau menghinaku." Sepertinya jika Elisabeth menjadi adiknya, setiap hari adalah cobaan hidup bagi Ariana.
"Ngomong - ngomong kau tau kemana kakakku pergi? Atau sesuatu yang lain terjadi selama aku tidak sadarkan diri?"
"Sepertinya hukuman untuk mereka akan diumumkan hari ini." Ariana sedikit mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa ayahnya membuat keributan di kekaisaran dan kastilnya masih sangat damai, bukankah itu bisa disebut pengancaman terhadap pihak kekaisaran?
"Sebenarnya apa yang ayahku lakukan?" Gumaman Ariana membuat Elisabeth bisa mendengarnya mengingat mereka duduk berdekatan.
"Ku dengar, dulu sekali, sempat ada pemberontakan yang terjadi di kekaisaran ini." Ariana langsung menoleh menatap Elisabeth. Permberontakan? Hal ini tidak ia temukan dalam novel.
"Dari mana kau mendengarnya?"
"Tidak sengaja mendengar pembicaraan ayahku dengan salah seorang bangsawan saat aku akan melaporkan tugasku di ruang kerjanya."
"Lalu?" Elisabeth berusaha mengingat apa yang didengarnya itu.
"Mereka berdebat untuk tidak memiliki kerjasama apapun dengan faksi lawan. Karena jika pemberontakan terjadi lagi, tak akan ada yang tersisa. Faksi kerajaan yang sudah dikuasai bisa dengan mudah menguasai faksi bangsawan. Dan seingatku mereka mengatakan tentang kekaisaran yang otoriter dan diktator. Aku tidak terlalu mengingat dengan jelas. Tapi intinya seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SURVIVE
RomanceWARNINNG KONTEN + MENGANDUNG ADEGAN DAN BAHASA DENGAN UNSUR 18+ YANG MERASA DI BAWAH UMUR JANGAN BACA. BIJAK YA. Aryana yang masuk dalam cerita buku yang baru saja dibacanya harus berperan sebagai Ariana Asteria Cronvess. Tokoh antogonis yang hidup...