EMPAT PULUH DUA

20 5 15
                                    

"Bukankah sama saja? Tetap ada darah yang tumpah, Park Yujin!"

"Apa bedanya dengan kau yang sudah menyabotase tangga agar Junhyeok terjatuh dari sana? Kau juga sempat menyuruhku membunuh otak dari mereka, Choi Taehun orang yang kau benci karena telah mempermalukan orang yang kau cinta 33 tahun yang lalu."

"Sudahlah Park Yujin, yang berlalu biarlah berlalu. Aku sudah tidak ingin mengulang kesalahan yang sama."

"Omong kosong, aku tahu kau berniat menghabisi mereka satu-persatu, kan? Setelahnya kau akan membuat Junwook terjebak, hingga seolah dialah pelakunya. Seperti apa yang kau lakukan pada Youngjae dulu, walaupun akhirnya kau tetap membayar tim penyelidik agar kau tidak mendapatkan hukuman."

"Ternyata kau terlalu pintar untuk dibohongi. Karena kau sudah tahu tolong aturkan untuku, aku ingin semuanya dimulai dari Hyunsoo."

"Itu masalah gampang. Tapi apa kau ingat jika mereka sekarang memiliki keluarga? Mereka sudah tidak seperti dulu yang tinggal di panti asuhan."

"Apa kau tahu? Aku sudah meruntuhkan panti asuhan itu. Untuk masalah orang tua mereka itu masalah sepele, orang tua mereka gila harta."

"Licik sekali, lalu bagaimana dengan anakmu? Bukankah dia juga bagian dari mereka? Apa kau akan membuat dia seperti mereka juga?"

"Kenapa tidak? Meskipun dia anak-ku, aku benci melihat wajahnya. Lagi pula, aku masih punya Yoonho untuk meneruskan semua perusahaanku."

"Gue denger pake telinga gue sendiri. Dia bahkan mau bikin gue mat-"

Ucapan Jia terhenti kala Taehun yang kembali menangkup wajahnya. "Lo boleh bilang apapun, tapi untuk kata itu tolong jangan."

"Kak ...."

"Nggak akan ada yang pergi setelah ini, kita bakal terus hidup sampe tua nanti."

"Bener apa kata Bang Tae, Ji." Jia dan Taehun menoleh pada Junhyeok. "Kita harus berusaha supaya kejadian yang dulu gak keulang lagi."

"Kita bakal hidup dan bahagia?" tanya Jia.

Semuanya menjawab dengan anggukan meski mereka sendiri tidak begitu yakin.

🕸🕸🕸

Hyunsoo menatap pantulan dirinya dari cermin, ia masih teringat cerita Jia sore tadi.

Perlahan senyum Hyunsoo mengembang. "Seo Daeyoon, lo pikir bisa bunuh gue dengan gampang? Kalau lo licik, gue bakal lebih licik."

Ia segera mencuci mukanya, dari luar sana Kyungjun sudah memintanya untuk keluar.

"Lama, lo! Katanya cuma cuci muka doang," ucap Kyungjun.

"Gue mah cuci mukanya pake perasaan, emang lo-"

"Sutttt ... Udah sana pergi," ucap Kyungjun sebelum akhirnya menutup pintu kamar mandi.

Hyunsoo hanya menatap pintu yang Kyungjun tutup tanpa ada niatan membalas ucapannya, ia sedang malas membuat keributan malam ini.

"Ngapain lo berdiri di depan kamar mandi?" Pertanyaan itu terlontar dari Taehun yang baru saja masuk.

Hyunsoo menoleh lalu menghampiri Taehun yang duduk di karpet.

"Bawa apaan, lo?" tanya Hyunsoo yang melirik kantung belanja yang di bawa Taehun dari luar.

"Mau?" Taehun mengeluarkan snack yang ia beli. "

"Wih ... Lo beli? Banyak banget gila."

"Ya, iyalah. Yakali mulung, kan gak mungkin," ucap Taehun.

"Ini udah malem, Hun. Kok bisa keluar? Tadi pamitnya ke kamar bocah," tanya Kyungjun yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Duit."

Mendengar jawaban Taehun membuat Kyungjun mengangguk mengerti. "Bandel juga ya, lo."

"Sesekali gak papa lah. Lo juga mau? Ambil aja."

Ketiganya kini menikmati makanan yang Taehun bawa. Di tengah keheningan tiba-tiba Kyungjun tertawa, hal itu membuat Taehun dan Hyunsoo bergidik ngeri.

"Kenapa lo? Kesambet?"

Pertanyaan dari Taehun membuat Kyungjun menghentikan tawanya lalu menatap Taehun tajam. "Sembarangan! Gue tiba-tiba keinget bonyoknya Hwi."

Sekarang Hyunsoo yang tertawa. "Njirr lo! Malah diingetin lagi."

"Gue sama sekali gak berekspetasi kalau Hwi bakal se-berani itu sampe nampar nyokapnya sendiri," imbuh Taehun.

"Mamah tahu, mamah banyak salah sama kamu. Kamu bisa nampar mamah kaya mamah yang selalu nampar kamu kalau kamu mau ...." Hyunsoo memeragakan dan mengulang kembali apa yang telah di ucapkan ibu dari temannya dengan nada yang di buat-buat.

"Anjir Co, udah." Kyungjun benar-benar tidak bisa menahan tawanya melihat ekspresi Hyunsoo.

"Julid banget lo, Co. Tapi kita harus bersyukur gak sih, si nenek lampir udah tobat," ucap Taehun.

"Tanpa sadar lo juga julid, Hun. Tapi nyokapnya Hwi emang cocok sih di panggil nenek lampir."

"Ini gak ada satupun dari kita yang keluarganya bener, ya?"

Hyunsoo menggeleng, menanggapi pertanyaan dari Kyungjun. "Gelap, matiin dong lampunya."

"Makin gelap dong! Eh btw, kalian udah kepikiran sesuatu buat nyari bukti?" tanya Taehun.

Kyungjun menggeleng. "Belum, tapi tenang aja gue pasti nyari cara biar cepet keungkap. Bakal susah sih, kita aja ada di wilayah kekuasaan dia."

"Dia cuma kuasain wilayahnya kali, Jun. Urusan wilayah doang mah kita juga bisa, manfaatin lah punya orangtua kaya raya. Udah deh, gak usah pikirin itu dulu. Ini udah malem, mending tidur." Hyunsoo bangkit lalu naik ke kasurnya.

"Lo gak khawatir gitu, Co? Lo target pertama dia," kata Kyungjun.

"Nggak. Kalau emang takdir gue sama kaya dulu, kita bisa apa? Gak ada yang bisa ngerubah takdir di dunia ini," jawab Hyunsoo.

"Kenapa pikiran lo jadi pendek kaya gini? Lo, kaya bukan Hyunsoo yang gue kenal," ucap Taehun.

Tidak ada balasan dari Hyunsoo, laki-laki itu sepertinya sudah tertidur karena kelelahan.

"Udah, Hun. Lo juga mending tidur, kita pikirinnya besok aja."

Taehun menjawabnya dengan anggukan, ia juga cukup lelah. Mungkin tidur akan menjadi obat lelahnya saat ini.









Kayanya, Big Secret adalah cerita paling gelap yang pernah aku bikin. Btw waktu gak kerasa ya, perasaan baru kemarin aku mikirin alur di tengah stresnya ngadepin ujian. Sekarang aku udah lulus dan cerita ini udah sampe di BAB 42 yang artinya gak akan lama lagi selesai.

Stan The New Six guys!

Big Secret (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang