Hyunsoo membuka buku itu perlahan. Ia memperhatikan tiap lembar dari kertas itu. Alisnya menyatu akibat kerutan di dahinya.
"Kenapa, Soo?" Pertanyaan dari Taehun mewakili ketiga temannya yang lain.
Hyunsoo membalikan buku itu menghadap empat orang yang sedang menatapnya.
Sempat hening sesaat sebelum Kyungjun tertawa renyah.
"Gue kira kita dikehidupan sebelumnya beruntung dalam keluarga tapi ternyata sama aja, atau bahkan lebih buruk." Kyungjun menjeda ucapannya. "Kecuali lo, Hun dan Sungjun," lanjutnya pelan.
Taehun hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Kyungjun.
"Do'a lo gak kelar, Hun. Seharusnya selain derajat yang tinggi ada kebahagian juga di dalamnya," ucap Hyunsoo.
"Setidaknya derajat kita tinggi, Bang. Walaupun yang ada di pikiran mereka cuma duit, duit, duit, dan duit. Kita harus banyak bersyukur," kata Junhyeok.
"Bener kata Junhyeok. Setidakanya kita cukup terpandang, kan?" timpal Hwi.
Jika ada kesempatan untuk terlahir kembali, kita harus berada di keluarga yang derajatnya tinggi.
Tulisan yang berada tepat di tengah-tengah buku itu memenuhi pikiran mereka berlima saat ini.
"BANG TAE!!"
Lamunan kelimanya buyar kala suara teriakan Sungjun menggema dari dalam kamar mandi. Dengan cepat mereka berlari menghampiri.
Saat pintu di buka mereka melihat dengan jelas wajah ketakutan Sungjun. Laki-laki bermarga Oh itu sudah terduduk lemas di lantai kamar mandi.
"Lo kenapa?" Hwi mencoba membantu Sungjun berdiri.
"Kaca." Satu kata dari Sungjun membuat kelimanya melihat bersamaan ke arah kaca wastafel.
Seketika jantung mereka berdetak abnormal. Mereka terkejut dan takut.
"Ka-kalian cepet keluar, biar gue yang bersihin," ucap Taehun.
Karena rasa takut kelimannya mengangguk dan keluar dari sana.
Taehun menatap kepergian kelima temannya lalu kembali beralih pada kaca.
Pergi atau mati?
Tangannya mengepal, ia terkejut, takut dan marah di waktu yang bersamaan.
Tulisan berwarna merah darah itu Taehun lap menggunakan tisu basah. Tidak berbau amis, itu tandanya ini hanya pewarna biasa.
"Harusnya gue gak nulis kata-kata itu di masa lalu, semuanya gara-gara gue," gumam Taehun.
🕸🕸🕸
Tidak ada percakapan diantara mereka setelah kejadian tadi malam. Benar-benar diam bahkan saat berangkat bersama.
Jia menatap heran dua orang yang beberapa hari lalu meminta bantuan kepadanya.
"Junhyeok!" panggilnya.
Junyheok menoleh lalu menaikan sebelah alisnya sebagai jawaban.
"Mereka sakit?"
Bukannya bersuara Junhyeok kembali menjawab dengan gerakan bahu seakan ia bilang "Nggak tahu".
Jia mendekat pada ketiganya karena suasana kelas yang tengah ribut membuat suaranya kurang terdengar jika dari jarak yang sedikit jauh.
"Kalian ada masalah?" Lagi, yang Jia dapatkan hanya gelengan dari ketiganya. Sungguh, itu membuatnya sedikit kesal.
"Ngomong bisa kali? Tadinya gue punya informasi, tapi kaliannya gak mau ngomong dan itu bikin gue kesel, gak jadi gue ceritanya." Jia bangkit namun sebelum melangkah tangannya sudah di tahan oleh Hwi.
"Sorry, kayanya kita masih kepikiran sama kejadian semalem. Jadi ada informasi apa?"
"Kejadian semalem?" tanya Jia dengan dahi yang mengerut karena penasaran.
"Kita dapet ancaman," ucap Junhyeok namun masih dengan tatapan kosongnya.
"Anca-"
"Sungjun."
Ucapan Jia terpotong karena suara Taehun yang memanggil Sungjun.
Perhatian seisi kelas teralihkan pada Taehun, sempat hening namun tak berlangsung lama. Taehun jalan mendekat dan menggeser kursi untuk duduk di samping Sungjun.
Tangannya menepuk bahu rapuh itu.
Sungjun menoleh, tatapannya benar-benar membuat Taehun merasa bersalah. "Gue takut, Bang."
Taehun tersenyum tipis sebelum akhirnya menarik badan Sungjun agar bersandar di bahunya. "Gue gak bisa nenangin lo, karena kali ini gue juga takut."
Selang beberapa menit Taehun baru menyadari keberadaan Jia yang sangat dekat dengannya.
"Jia," panggil Taehun.
Jia menoleh dan langsung mengerti. "Setahu Jia, gudang tua di sekolah kita masih nyimpen data dari puluhan tahun lalu. Ada satu lagi informasi yang mau aku sampein. Asrama putra itu dulunya asrama putri, dan asrama putri yang sekarang pernah kebakaran tahun 1990," ujar Jia.
"Makasih, ya. Ini bakal ngebantu banget," ucap Taehun.
"Tapi kayanya Jia cuma bisa bantu ini."
"Lah, kenapa?" tanya Hwi.
"Kata Bokap gue dia juga gak tahu sejarah sekolah ini."
"Lo tanya ke bokap lo terang-terangan?" Kali ini Junhyeok yang bertanya.
Jia sontak menggeleng. "Gue gak gila buat terang-terangan kali."
"Jadi yang lo dapetin cuma itu do-"
Belum selesai Hwi berbicara Taehun sudah lebih dulu menyelanya. "Jangan jadi orang yang gak tahu terima kasih, Hwi."
Hwi menghela nafasnya. "Iya deh, makasih."
"Gak iklas banget lo bilang makasih nya," protes Jia.
"Ribet lo, ucapin makasih di mana-mana sama aja. M a k a s i h MAKASIH, udah puas belum?"
"Belum."
Hwi tersenyum gemas karena menahan emosi. Sedangkan Jia, ia tertawa dalam hati melihat hal itu. Jia tidak gila kata terima kasih, tapi ia sengaja membuat Hwi kesal, itu menjadi hiburan tersendiri baginya.
"Gimana sih, bilang makasih yang tulus aja kagak bisa. Nih gue contohin," ucap Junhyeok kemudian tersenyum. "Makasih ya, Jia," lanjutnya.
"Nah, yang tulus itu kaya Junhyeok, sambil senyum."
Hwi malah bergidik ngeri. "Ngomong aja kalau pengen disenyumin cowok ganteng macem gue."
"Sialan, pede banget lo!"
Hehe.. Maaf ya, otak aku lagi buntu. Jangan lupa terus dukung The New Six🏁

KAMU SEDANG MEMBACA
Big Secret (Revisi)
FantasyTerlahir kembali, apakah hal itu memang ada? END! NO PLAGIAT⚠️ YANG PUNYA NIATAN NGE-PLAGIAT SONO MINGGAT JAUH JAUH.