TUJUH

47 13 0
                                    

"Lo ya, yang bilang."

"Gak mau ah, kan tuan lo dari pada gue. Jadi lo yang bilang."

"Kan lo yang ngide."

"Nah, maka dari itu. Kan gue udah ngusulin ide, sekarang giliran lo yang bilang, jadinya impas."

"Ogah gue, terakhir ngomong sama dia aja kuping gue rasanya rada budek."

Sungjun tertawa kecil mendengar banyak alasan yang dilontarkan Hwi agar bukan dia yang berbicara pada Jia.

"Banyak banget alesan lo, gue sih gak mau tahu harus lo yang ngomong," ucap Sungjun yang terus memancing emosi Hwi.

"Kok jadi lo yang ngatur sih? Harusnya nih ya, uang punya ide yang ngomong."

"Tapi kan gue ngasih ide yang artinya gue udah mikir, sekarang bagian lo."

Hwi mengacak-acak rambutnya, kesal. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Jia, hanya saja ia masih kesal dengan Jia yang terus memarahinya saat piket bersama. Ini salah itu salah, padahal piket hanya begiru-begitu saja.

"Yaudah gini deh, kita ambil jalan tengah. Gimana?" tanya Hwi.

"Maksudnya?"

"Ya, kita berdua yang ngomong. Takutnya dia gak percaya sama gue, kan kalau sama lo bisa dibantuin tuh ngejelasinnya."

Sungjun mengangguk paham. Apa yang dikatakan Hwi ada benarnya, Jia itu cukup cerewet, banyak tanya dan tidak gampang percaya. Ini akan jadi tantangan untuk mereka.

"Kapan ngomongnya?"

"Pulang sekolah aja, nyari tempat yang agak sepi," jawab Hwi.

"Pulang sekolah kita kan mau ke rumah sakit lagi."

"Kita bisa nyusul, kan gak mungkin kita jelasin ke Jia tapi banyak orang yang denger. Gue sih gak mau ya dianggap aneh sama satu sekolah, kalau Jia doang kan gak papa."

"Oke deh. Kan lo yang ngomong, gue cuma pendamping aja," ucap Sungjun dengan senyuman menyebalkan. Sungguh, Hwi sangat kesal melihatnya.

Waktu benar-benar tak terasa. Bel pulang sudah berbunyi, kedua laki-laki itu sudah menyuruh Jia untuk tidak pulang terlebih dahulu.

Sekarang mereka duduk berhadapan di kelas yang sudah tidak ada orang lagi selain mereka bertiga.

Jia menatap dua orang di hadapannya kesal. Pasalnya sudah hampir tiga menit mereka diam membisu.

"Gue pulang deh, kalau lo pada mau diem terus kaya gini."

Sungjun menyenggol lengan Hwi hingga sang empu sedikit terpeanjat.

"Ah, lama lo, Hwi." Sungjun melirik Hwi kesal. "Jadi gini, kita mau minta tolong sama lo. Tapi sebelumnya lo mau gak nolongin kita?"

"Dalam hal apa dulu? Kalau gue bisa kenapa nggak?" tanya Jia.

"Gini Ji, aduh gimana ya? Kita butuh informasi dari lo seputar asrama putri."

Jia mengerutkan dahinya pertanda tidak mengerti. "Informasi yang kaya gimana?"

"Lo pasti tahu lah kapan asrama putri dibangun?"

"Gue tahu tapi gue kurang yakin. Emang kenapa?"

"Selama ini lo ngerasain hal aneh gak? Atau yang janggal gitu?"

"Pertanyaan lo kenapa sih? Aneh banget tahu gak?"

Hwi memutar bola matanya malas. "Lo ngelama-lamain bangke! Jadi gini, lo tahu kan reinkarnasi? Nah kita, eum.. maksudnya, gue sama temen-temen gue yang lain katanya reinkarnasi-" Belum sekesai Hwi berbicara tapi Jia sudah memotongnya dengan gelak tawa.

"Kata siapa? Lo pada masih percaya reinkarnasi di zaman modern ini? Yang bener aja."

"Kim doyoung, kakak kelas kita. Lo pasti tahu lah," jawab Sungjun.

Seketika Jia terdiam mendengar nama Kim Doyoung diucapkan. "Oke, gue percaya."

"Lah, segampang itu?" tanya Hwi.

"Soalnya dia juga bilang gitu ke gue. Sebenernya percaya gak percaya sih, tapi kalau diliat dari latar belakang keluarga dia ada baiknya menaruh sesikit rasa percaya. Jadi apa yang busa gue lakuin buat bantu kalian?"

Hwi dan Sungjun saling pandang, diakhiri dengan anggukan dari Sungjun. "Lo di sebut reinkarnasi juga?"

"Bisa dibilang begitu."

"Lo tahu gak, sebelum jadi asrama putri itu dulunya tempat apa?"

"Setahu gue ya masih asrama, tapi yang dulu katanya pernah kebakaran makanya dibangun ulang. Emang kenapa?"

Sungjun memejamkan matanya sebentar. "Gue yang dulu kejebak di kebakaran itu."

"Lo-" Jia menatap tak percaya.

"Kemungkinan gue salah satu korbannya. Karena itu kita pengen tahu penyebab kebakaran itu dan-"

"Oke, gue ngerti. Gue emang gak tahu sejarahnya sekolah ini tapi gue bisa tanya bokap gue."

Hwi menggeleng. "Gak, Ji. Lo gak bisa gegabah dan ngasal kaya gitu."

"Gue nggak bodoh kali, Hwi! Gue bisa pake alesan lain buat tanyain hal ini."

"Syukur kalau lo ngerti, tolong jaga rahasia ini baik-baik, gue tunggu informasinya dan ini pertama kalinya gue mau berterima kasih sama lo. Kita gak bisa lebih lama lagi, gue sama Sungjun mau ke rumah sakit, sekali lagi makasih."

Hwi beranjak pergi dari kelas itu di susul Sungjun dan Jia di belakangnya.

"Makasih ya Ji."

"Sama-sama."

-1990-

"Bang." Taehun menoleh pada Sungjun yanng kini sudah berada di sebelahnya. "Gue pengen pulang."

"Lo sehat kan?" tanya Taehun.

"Sehat kok, cuma ya kayanya gue kangen rumah."

"Gak usah gila deh, Jun. Masalah kita yang ini aja masih jauh nemu titik terang, lo mau nambah masalah lagi?" sahut Junhyeok yang masih berada di atas brankar rumah sakit.

"Laki-laki tua bangka itu udan bukan lagi ayah gue," kata Sungjun. "Makanya gue berani buat pulang."

"Demi apa?!" kelima temannya yang berada di ruang rawat Junhyeok terkejut secara bersamaan.

"Baru kemarin mereka pisah."

Taehun menghela nafas lega. "Akhirnya... Lega banget gue dengernya. Itu berarti lo gak akan balik ke asrama bawa lebam lagi dong?"









Hallo!
Maaf ya lama, aku kemarin sempet sakit sampe lupa mau up hehe...
Aku ucapin banyak terima kasih banget buat kalian yang nungguin cerita ini♡
Jangan lupa perhatiin setiap kata yang kalian baca ya.

Big Secret (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang