“Bagaimana?” Tanya Jeonghan kepada Wonwoo begitu dia sampai di pasar.
“Ada orang-orang yang datang untuk merusak kios tadi malam dan aku menakut-nakuti mereka.” Jawab Wonwoo sambil memakan buah jeruk yang diberikan oleh Jeonghan padanya. Anak itu lalu berjalan pergi untuk menurunkan sayuran dari gerobak.
Mendengar penjelasan Wonwoo, mau tak mau sebuah senyuman terukir di bibir Jeonghan. Sudah dia duga hal itu akan terjadi. Pelakunya tidak lain adalah pemilik toko Choi. Mungkin jika Jeonghan tidak memiliki kemampuan meramalkan nasib buruk atau bahasa modernnya negative thingking kepada setiap orang, dia akan menangis pilu karena kiosnya hancur pagi ini. Dan melihat bagaimana pemilik toko Choi kini menggigit jarinya, membuat Jeonghan tersenyum sinis.
“Inikah bahaya yang kau maksudkan?” tanya Seungcheol pada Jeonghan yang masih tersenyum sinis.
“Benar sekali.” Senyuman Jeonghan semakin lebar.
Seungcheol mengangkat alisnya, Jeonghan bisa memprediksi bahwa hal ini akan terjadi, apakah Jeonghan bisa meramal?
“Bagaimana bisa tahu?” Ada nada keraguan dalam pertanyaan Seungcheol dan Jeonghan tidak menyalahkan hal itu. Dia berbalik dan menatap tepat pada mata Seungcheol.
“Kau pernah dengar jika mata adalah jendela seorang manusia? Jika kau melihat tatapan yang seperti ingin memakanmu hidup-hidup, apakah kau berfikir dia ingin menjadikanmu teman?” Jeonghan kembali melihat ke depan dan berdiri membelakangi pria yang berstatus sebagai suaminya itu.
Seungcheol terdiam ketika mendengar kata-kata Jeonghan. Dia bahkan tidak boleh menatap mata orang dulu, jadi dirinya sebenarnya tidak bisa membaca orang melalui mata saja.
“Seseorang akan membenci kita karena ingin bertahan hidup. Seperti itulah dunia ini, jadi kau harus senantiasa berjaga bahkan ketika tidur.” Ujar Jeonghan datar. Dia teringat suatu hal dimasa lalu.
“Tetapi bagaimana kau bisa tahu, dia akan merusak kios?” tanya Seungcheol lagi.
“Mudah saja. Kemana mata menyorot paling tajam, itulah target utamanya.” Jeonghan mengatakannya dengan begitu santai. Dan melihat pemilik toko Choi yang masuk ke tokonya dengan gusar membuat ia kembali tersenyum.
Seungcheol benar-benar tidak menyangka bahwa Jeonghan memiliki pemikiran seperti itu. Pria itu menatap punggung kurus milik Jeonghan, dia merasa bahwa yang berdiri dihadapannya ini bukanlah Jeonghan yang ia kenal. Sangat berbanding terbalik.
Jeonghan dulu adalah tipe pendiam, lemah lembut, anggun dan dingin. Sedangkan sekarang, Seungcheol bisa berkata bahwa Jeonghan adalah seorang yang tidak bisa ditebak dan dilabeli. Ah, tidak. Jeonghan suka uang dan makanan. Pemuda itu akan selalu membeli banyak makanan ketika akan pulang. Sangat berbeda karena Jeonghan biasanya akan makan secukupnya.
Seungcheol menyukai keduanya. Baik yang pendiam maupun yang cerewet. Mungkin saja Jeonghan mengalami pencerahan ketika terjatuh ke dalam sungai.
“Kau sangat cantik.”
Dengan terburu, Seungcheol mengalihkan perhatiannya pada Pakgo yang telah berdiri didepan Jeonghan. Raut wajahnya berubah dingin dan berbahaya. Seperti serigala yang siap menerkam mangsanya. Perlahan, Seungcheol bangkit dan berdiri melingkupi tubuh Jeonghan.
Pakgo tidak memperhatikan pria itu, dia malah fokus dengan Jeonghan yang sama sekali tidak menanggapi kata-katanya. Kali ini dia datang sendiri tanpa bersama rombongan berandalnya.
Seluruh wajah tidak luput dari perhatian Pakgo. Bagaimana bulu mata itu bergerak turun ketika Jeonghan melakukan pengecekan terhadap sayuran-sayurannya, bagaimana pipinya bersemu merah karena sinar matahari dan bagaimana bibir indah itu terbuka ketika Jeonghan berbicara. Dia benar-benar terpukau dengan pemuda didepannya ini. Tidak pernah ia sangka bahwa dia akan terpesona dengan seorang pemuda yang baru ia lihat kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different World [CheolHan] ✓
Fiksi PenggemarYoon Jeonghan adalah seorang petani sebatang kara yang tinggal di desa terpencil. Suatu hari, nasib sial menimpanya. Ia terpeleset dan tenggelam di sungai ketika sedang mencari ikan. Lalu ia terbangun di sebuah gubuk dari ilalang dengan pakaian tra...