Chapter-38 : Pertama dan Terakhir

188 22 2
                                    

Suara hiruk-pikuk tepuk tangan dan teriakan siswa SMA Bina Bangsa menggema ketika bola basket berhasil masuk ke dalam ring lawan. Permainan pun berakhir dan kemenangan jatuh ke tangan tim Dana.

Lelaki dengan celana abu-abu dan kaos bewarna putih yang membalut tubuh berjalan ke pinggir lapangan untuk beristirahat.

Namun, niat Dana sirna saat melihat perempuan berambut pirang yang paling ia hindari. Arel berdiri di tempat Dana menjemur seragamnya. Di tangan gadis itu ada sebotol air mineral dan handuk kecil bewarna merah muda.

"Ini, Kak untuk Kakak," ucap Arel memberikannya pada Dana.

"Gak perlu, aku gak haus," tolak Dana lalu mengambil seragam yang ia jemur di tiang ring basket. "Aku juga gak butuh handuk."

Arel menarik sebelah sudut bibir ke atas. "Aku bawa khusus untuk Kakak. Cepat ambil!"

Tak mau memperpanjang masalah dan menjadi pusat perhatian-mengingat penonton pertandingan basket tadi belum meninggalkan lapangan-, Dana memilih pergi dari hadapan Arel.

Namun, tangan Arel bergerak lebih cepat dan mencengkram tangan Dana kuat. Membiarkan kuku-kuku panjangnya menusuk kulit putih itu.

"Ambil! Sekali saja hargai aku, gak bisa apa?" kesal Arel.

"Hargai?" Dana mengembuskan napas berat. "Kalau begitu hargai dulu penolakanku."

Dahi Arel semakin mengerut. "Radana Arkatam, semua yang aku mau pasti aku dapatin, termasuk Kakak. Jadi gak usah buang-buang waktu dan energi untuk nolak aku. Mendingan Kakak latihan untuk suka dan bersikap baik padaku."

"Gimana caranya kamu dapatin aku?" tanya Dana menantang.

"Aku ... aku punya kuasa," jawab Arel gelagapan.

Dana menggeleng. "Bukan kamu, tapi ayahmu. Benar, kan?"

"I don't fucking care, yang penting aku punya kuasa dan aku bisa lakuin apa aja untuk dapatin Kakak," tegas Arel.

Energi Dana kini sudah kosong. Sisa-sisa tenaga yang niatnya digunakan untuk membasuh badan kini habis sebab beradu mulut dengan Arel. Sudah berulang kali ia menolak, mulai dari cara lembut hingga kasar. Namun, tak ada yang bekerja.

"Nih, ambil!" Arel masih belum menyerah. Ia menyodorkan kembali botol air dan sehelai handuk kecil.

Dana menghela napas berat lalu mengambil pemberian Arel, membuat gadis itu mengulas senyum lebar di bibir ranumnya.

"Gitu, dong dari tadi jadi aku gak perlu marah-marah," ucap Arel.

"Ini barang pertama dan terakhir yang aku terima dari kamu. Aku lakuin ini untuk menghargai kamu, jadi sekarang tolong hargai aku yang gak bisa terima perasaan kamu," ungkap Dana dengan raut wajah datar.

Pupil mata Arel melebar. Ia tak bisa menerima penolakan Dana untuk ke sekian kali.

"Apaan, sih? Kakak dengar, kan? Apa yang aku mau pasti aku dapatin," kesal Arel dengan nada keras, membuat atensi orang-orang-yang berlalu-lalang di sekitar-tertuju pada mereka berdua.

"Aku tahu, tapi aku bukan benda. Aku manusia, dan aku juga punya perasaan," jelas Dana dengan selembut mungkin. Berharap gadis itu agar luluh.

"Bullshit! Bilang aja Kakak sebenarnya suka sama Sesya, kan!" tuduh Arel.

Kini giliran dahi Dana yang mengernyit. "Aku gak suka sama sekali dengan Sesya, tapi memang aku punya perempuan lain yang aku suka dan yang pasti orangnya bukan kamu."

Arel menghentakkan kaki kesal. Mukanya merah padam menahan emosi yang kian membara. "Aku benci, Kakak. Aku benci semuanya!"

Dengan amarah berapi-api, Arel berjalan pergi meninggalkan Dana di pinggir lapangan bersama kedua dayang-dayangnya.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang