Butuh waktu lama bagi Arel memantapkan hati untuk bergerak satu langkah lebih baik. Usai bertarung dengan isi kepala dan hati, akhirnya gadis berambut pirang itu telah menentukan keputusan agar dapat bahagia.
"A-arel?"
Kepala Arel mendongak. Senyum manis merekah saat melihat gadis yang ia tunggu-tunggu muncul di depan mata.
"Kau mau apa lagi? Aku gak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sesya," jelas Cindy. Padahal Arel belum mengucap satu patah kata pun.
Tubuh bersandar di tembok kelas Cindy. Kedua tangan dilipat di depan dada. Tingkah angkuh masih belum hilang sepenuhnya dari diri Arel. Gadis itu menarik napas berat sembari merapalkan mantra dalam hati, ingat kata Edo kalau mau bahagia, Arel!
"Aku ke sini mau minta maaf," ucap Arel.
Pupil mata Cindy melebar. Sebelah sudut bibir naik ke atas. "Kau becanda, kan?"
"Sayangnya aku lagi gak becanda," sahut Arel lalu berdiri tegap. Manik matanya menatap Cindy dalam lalu kembali berkata, "Aku datang ke sini karena mau minta maaf."
"Kalau kau minta maaf karena paksaan Biru lebih baik jangan. Aku gak mau kau malah tambah benci de-"
"Aku minta maaf bukan karena Biru atau orang lain," potong Arel lelah. Niatnya hanya minta maaf, tetapi mengapa terasa sulit sekali.
"Kau serius?" tanya Cindy seraya mencari-cari celah kebohongan di bola mata Arel.
Arel memutar bola mata malas. "Terserah mau percaya atau gak. Pokonya aku udah minta maaf dan kita gak ada urusan apa-apa lagi."
Tanpa menunggu balasan Cindy, Arel segera melangkah kembali ke kelasnya. Daripada emosinya meledak sebab tingkah Cindy yang mengundang sisi gelap dirinya.
Baru setengah jalan, langkah Arel berhenti ketika bertemu dengan Sesya. Senyum Sesya merekah kala pandangan mereka bertemu. Tangan kanan terangkat ke atas lalu melambai, sedangkan tangan kirinya memegang sebotol air minum.
"H-hai!" sapa Sesya.
Awalnya Arel ingin mengabaikan dan pergi sebab emosinya sedang tidak stabil. Namun, kata-kata Edo kembali melintas di kepala.
Arel memilih mengalah. Ia mengatur deru napas sebelum membalas senyuman Sesya dengan seulas garis yang tak kalah lebar.
"Um ... aku ke kelas duluan, ya. Kotak bekalku ketinggalan di laci meja," ucap Sesya.
Sesya buru-buru melangkah meninggalkan Arel. Namun, Arel lebih dulu mencengkal pergelangan tangan Sesya.
"Tunggu dulu!" tahan Arel.
"Eh, kenapa? Aku udah gak dekat dengan kak Dana lagi, kok," jelas Sesya. Tak bisa menyembunyikan rasa takut.
Arel tersenyum miris. "Ada yang mau aku bicarain. Mumpung kita lagi ketemu."
"A-apa? Aku beneran udah jauhin kak Dana kok kali ini," sambung Sesya meyakinkan.
"Ini bukan tentang kak dana," ucap Arel.
"Eh." Barulah Sesya dapat tenang. "Jadi tentang apa? Edo?"
Arel menggeleng seraya melepaskan tangan Sesya. Sebelum membuka suara, ia menarik napas dalam lebih dulu. "Aku minta maaf."
"Ha?" Pupil mata Sesya membulat lebar. "Eh, untuk apa?"
Arel menarik napas dalam seraya membuang muka ke sembarang arah. Tak sanggup menatap wajah Sesya. "Edo yang suruh, dia bilang kalau aku minta maaf dengan orang yang aku jahatin aku bakal bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Teen FictionApa yang akan kamu lakukan jika ada seorang lelaki datang dan mengaku jika dia adalah anakmu dari masa depan? Awalnya Sesya tidak percaya, tetapi setelah Filo menunjukkan bukti yang telah ia siapkan perlahan membuat Sesya percaya mengatakan dan lulu...