Chapter-17 : Rumah Keluarga Lee

651 96 45
                                    

Sepasang pantofel hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah besar di pinggir kota Bengkulu. Rumah dengan hiasan interior khas Cina berdiri kokoh di dekat pepohonan pinus. Tangan kekarnya membuka gembok yang terpasang di pagar dengan anak kunci yang sedikit berkarat dari saku celana.

Pintu pagar terbuka lebar lalu tungkai jangkung miliknya melangkah masuk ke dalam. Di depan pintu rumah terdapat papan kayu berukir 'Keluarga Lee'. Ia mengusapnya pelan sebelum membuka daun pintu bewarna maroon itu.

Keadaan di dalam rumah sedikit berantakan dibandingkan saat pertama kali masuk ke dalam rumah itu. Ada beberapa bekas cup mie instant serta beberapa botol air mineral di atas meja ruang tamu yang belum sempat dibuang.

Lelaki bermata sipit itu mendaratkan bokong di atas sofa sembari memijit pelipis. Kepalanya terasa sangat berat dan ia ingin segera pergi tidur. Namun, malas melangkah menuju kamar yang berada di lantai dua.

Duaar!
Bunyi petir bergemuruh dengan kilatan cahaya yang muncul dari balik jendela. Rasa kantuk yang sejak tadi mendera, hilang begitu saja.

"Petir." Lelaki itu langsung bangkit seolah tidak merasa lelah. Di dalam pikirannya hanya satu, harus ke rumah Sesya sekarang juga.

Tanpa menunggu lama ia menekan tombol di jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Bzzzt!

Dalam satu kedipan mata, ruang yang semula gelap kini berubah terang benderang. Sofa yang tadi ia duduki berubah menjadi ranjang single bed dan ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.

Duaar!

Petir kembali menyambar, seseorang di balik selimut makin mengeratkan pegangan pada kain itu.

Perlahan laki-laki itu berjalan naik ke atas ranjang kemudian mengusap kepala di balik selimut. "Its okay, aku di sini."

"Eh." Sepasang pupil mata yang melebar muncul dari balik selimut. "Eh, Filo?"

"Hai, Ma." Lelaki itu menyungging senyum lebar.

Sesya menarik selimut hingga batas leher. "Kok kamu ada di sini? Di lu-oh kamu pasti pakai alat teleportasi lagi, ya?"

Filo hanya menganggukkan kepala.

"Ish, kenapa dipakai lagi? Kan kamu pernah bilang alat teleportasi itu membutuhkan energi yang besar," omel Sesya.

"Ada petir, Mama kan takut petir. Jadi aku langsung pergi ke sini tanpa berpikir panjang," jelas Filo.

Penjelasan Filo membuat Sesya terdiam, gadis itu bungkam sembari melihat wajah Filo dari bawah. Janggut tipis lelaki itu mulai terlihat. Sudah berapa lama mereka bertemu?

"Kenapa diam saja?" tanya Filo menatap Sesya dengan alis diangkat ke atas.

Sesya menggelengkan kepala. "Aku penasaran, apa kamu gak apa tinggalin kehidupan kamu di masa depan selama ini? Apa istri dan anak kamu gak nyariin?"

"Sudah, jangan dipikirkan," ucap Filo berusaha menenangkan.

"Ish, gimana gak dipikirkan. Mereka pasti sedih kalau kamu ninggalin mereka selama ini. Atau ... jangan-jangan kamu cerai sama dia?" terka Sesya. Pupil matanya melebar membayangkan jika tebakannya benar.

Filo terkekeh kecil. "Aku dan istriku baik-baik saja, Ma. Soal itu biar jadi urusanku, yang penting sekarang Mama tidur karena besok harus sekolah."

"Tapi ada petir," lirih Sesya, mengulurkan tangan keluar lalu mengenggam erat ujung baru Filo.

"Ada aku di sini," ucap Filo menenangkan.

Mata Sesya berbinar. "Kamu tidur di sini, kan?"

"Enggak, Ma. Nanti kalau hujan udah reda aku pulang," jelas Filo. Tangannya masih mengusap-usap kepala Sesya.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang