Chapter-43 : Undangan ke Rumah Edo

168 19 1
                                    

Kafe Topaz kini menjadi rumah kedua bagi Sesya. Tempat di mana ia sering menghabiskan waktu, berbincang dan bertukar cerita bersama Edo. Sembari menyesap vanilla latte terbaik dan menikmati pemandangan jalanan kota Bengkulu dari balik jendela besar di sebelahnya.

"Gimana rasa brownies-nya? Enak, kan pilihanku?" tanya Edo sambil meletakkan segelas watermelon lemonade ke atas meja bundar di depan mereka berdua.

Sesya mengacungkan dua jempol tangan. "Enaak! Mirip banget sama brownies buatan bunda.

"Bunda bisa buat brownies juga?" tanya Edo.

"Bisaa!" Sesya mengangguk antusias. "Kadang brownies normal gini, kadang buat brownies kering. Enak banget tahu dijadiin cemilan pas belajar."

"Sound good! Aku jadi pengen rasain juga. Kira-kira bunda mau gak taruh brownies-nya ke sini? Nanti aku bantuin lewat jalur orang dalam," tawar Edo diakhiri kekehan kecil.

"Gak bisa, bunda gak akan sempat soalnya dia kan wanita karir. Dalam sehari, 80% kegiatannya pasti kerja, kerja dan kerja," ungkap Sesya lalu memajukan bibir bawahnya.

Hati Edo bergetar mendengarnya, sebab ia juga merasakan hal yang sama. Bahkan sang ayah jauh lebih parah. Hampir 100% kehidupannya didedikasikan untuk bekerja terus-menerus. Entah apa yang ia kejar? Padahal ayahnya memiliki harta yang dapat menghidupi mereka berdua hingga puluhan tahun ke depan.

"Tapi gak apa-apa, sih."

Lamunan Edo buyar ketika mendengar Sesya membuka suara.

"Ayah dan bunda kan kerja demi masa depanku, supaya aku gak kekurangan apa pun," lanjut Sesya sembari memotong brownies dengan sendok kayu. "Lagian setiap hari libur mereka selalu habiskan waktu denganku biar aku gak merasa kesepian."

Edo tersenyum tipis. "Berarti kamu beruntung punya orang tua yang pengertian."

"Kamu juga beruntung, Edo," balas Sesya dengan senyum merekah.

"Aku beruntung?" Edo tertawa renyah. "Aku beruntung dari segi apa?"

"Karena hasil penemuan ayah kamu banyak membantu warga Bengkulu. Kamu tahu gak kalau Profesor Lee itu jadi idola warga Bengkulu, termasuk aku," jelas Sesya.

Sebelah sudut bibir Edo naik ke atas seraya mencari jejak kebohongan. Namun, yang tersorot dari manik mata Sesya hanyalah binar-binar takjub.

"Tapi aku gak me-"

Ponsel Edo tiba-tiba berdering, memotong ucapannya. Lelaki itu melirik nama yang tertera di layar ponsel lalu menghela napas berat.

"Telponnya gak diangkat?" tanya Sesya.

Edo mengangguk. "Sebentar, ya."

Gadis itu mengangguk, memberi waktu agar Edo dapat berbincang dengan si penelepon. Namun, aneh sebab sejak Edo mengangkat telepon hingga panggilan berakhir, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Yang tadi siapa?" tanya Sesya penasaran.

Edo menghela napas seraya meletakkan ponsel di atas meja. "Ayahku."

"Eh, panjang umur! Pas banget lagi kita omongin," seru Sesya riang.

Berbanding terbalik dengan raut wajah Edo yang berubah kusut usai mendengar omongnan sang ayah di seberang sana.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang