Chapter-41 : Pengakuan Isi Hati

178 22 1
                                    

 Di bawah mentari yang bersembunyi di balik awan-awan, sepasang remaja berseragam putih abu-abu dengan ransel menyangkut di bahu masing-masing. Suasana canggung menyelimuti mereka berdua, sebab ini adalah kali pertama bagi Cindy dan Biru pulang bersama.

Sepanjang jalan, jantung Cindy tidak bisa berdetak normal. Sedangkan lelaki yang mengajaknya pulang bersama memasang raut wajah datar.

"Ngapain kau di sini?" tanya Cindy saat mendapati Biru berdiri di tembok bagian luar kelas mereka. Gadis itu baru saja menutup daun pintu kelas usai petugas piket di hari itu keluar.

"Ayo, pulang!" ajak Biru.

Dahi Cindy mengernyit heran. Namun, ia tak sempat melayangkan protes sebab Biru langsung melangkah pergi tanpa memberi kesempatan pada Cindy membuka suara.

"Kau kerasukan setan?" Cindy memberanikan diri tuk membuka suara. "Gak ada angin, gak ada hujan tiba-tiba ajak aku jalan pulang."

Seulas garis tipis muncul di bibir Biru. Hanya sebentar, bahkan Cindy tak sempat melihat senyuman langka itu.

"Ada yang mau aku bicarakan," ucap Biru.

Cindy menggulir bola mata malas. "Aku belum siap minta maaf sama Sesya. Sampai mati kau minta pun kalau aku belum siap, aku gak akan minta maaf."

"Kenapa?" tanya Biru.

"Harusnya aku yang tanya kenapa. Kenapa kau sampai ngajak aku jalan pulang supaya aku minta maaf sama Sesya," balas Cindy tak mau menjawab, "Aku tahu kau suka sama Sesya, tapi gak perlu sampai sejauh ini."

Kedua alis Biru menekuk heran. "Siapa bilang aku suka dengannya?"

"Aku dan semua orang juga tahu." Cindy tertawa renyah.

"Dari mana kamu ambil kesimpulan itu?" tanya Biru lagi.

"Dari kelakuanmu-lah. Apa lagi? Mulai bantuin Sesya bersihin meja yang aku coret, minta Sesya pindah supaya nyaman sampai ngejar-ngejar aku supaya minta maaf dengannya," jelas Cindy.

Kekehan kecil lolos dari mulut Biru. Melihat itu, Cindy mengerutkan dahi heran. Apanya yang lucu?

"Ada tiga alasan," celetuk Biru.

"Apa maksudmu? Gak nyambung!" kesal Cindy.

"Satu, aku lakuin itu karena aku tahu rasanya di-bully itu tidak enak. Sebagai ketua kelas dan sebagai korban bully, aku gak mau jika ada temanku juga mengalami hal yang sama," ungkap Biru.

Langkah Cindy otomatis terhenti begitu kata-kata dari mulut Biru masuk ke indera pendengarnya. Ia baru tahu hal itu.

"Kedua, aku suruh Sesya pindah ke belakang sama Jicko bukan untuk membuatnya nyaman, tapi ... aku gak mau menyiakan kesempatan." Langkah Biru ikut berhenti kemudian lelaki itu membalikkan tubuh ke belakang, menatap Cindy yang terpaku di tempat.

"K-kesempatan apa maksudmu?" tanya Cindy sebab Biru tak kunjung membuka suara.

"Untuk mendekatimu. Aku bukan suka Sesya, tapi aku suka padamu," lanjut Biru berterus-terang tanpa peduli situasi jantung Cindy yang semakin tak karuan.

Waktu seolah berhenti dan manik mata Cindy hanya terfokus pada Biru di depan. Kupu-kupu seolah menggelitik, membuat debaran jantung Cindy semakin kacau.

"Ketiga, aku mau kamu minta maaf agar kamu kembali ke Cindy yang baik kepada siapa pun dan Sesya dapat berbaikan dengan teman pertamanya," lanjut Biru.

Cindy terkekeh kecil usai nyawanya kembali ke tubuh. "Niatmu baik, tapi aku tetap butuh waktu untuk memaafkan Sesya yang buat aku jadi orang jahat seperti ini."

"Ta-"

"Iya, tahu. Itu bukan salah Sesya, tapi tetap saja aku butuh waktu dan ...." Cindy menundukkan kepala lalu berbisik pelan, "Terima kasih sudah membalas perasaanku."

Pupil mata Biru membulat lebar. "Ha?"

***

Setelah berteman dengan Edo, Sesya menjadi pelanggan tetap di kafe milik kakak Tristan. Setelah menemani Edo latihan, mereka berdua duduk sebentar sembari menikmati kota Bengkulu di sore hari.

Kursi khusus dua orang di sebelah jendela besar yang menghadap langsung ke jalanan menjadi tempat favorit bagi sepasang remaja itu.

Sesya meletakkan vanilla latte ke atas meja. Sejak dijemput Edo sampai sekarang, mukanya terus menekuk seraya sesekali mengembuskan napas berat.

"Kamu kenapa?" tanya Edo usai menyesap caramel macchiato pesanannya.

"Gak apa-apa, kok," jawab Sesya seraya menyeka hidung.

Edo terdiam sesaat, seolah tengah memikirkan sesuatu. Kemudian lelaki itu bangkit dan mengulurkan tangan pada Sesya. "Ayo, ikut aku!"

"Ikut ke mana?" tanya Sesya, dahinya mengeryit.

"Nikmati angin sore Bengkulu. Dilihat aja dari balik jendela mana seru," sahut Edo, senyumnya merekah lebar.

"Aku lagi gak mood, Edo," balas Sesya.

Edo menghela napas, tapi tak menghilangkan senyum dari bibir tipisnya. "Tahu gak? Salah satu moodbooster terbaik adalah menikmati alam. Jadi ... ayo!"

Dahi Sesya mengernyit, mencoba menimbang-nimbang ajakan Edo. "Awas aja kalau mood aku tambah buruk," ancamnya bercanda.

"Aku jamin 100% mood kamu baik lagi." Edo terkekeh kecil. "Mana tangannya? Capek, nih."

Akhirnya Sesya dapat tertawa lagi usai pikirannya dipenuhi dengan isi surat Filo. Ia lalu membalas uluran tangan Edo. "Ayo!!"

Dua gelas minuman yang masih penuh ditinggalkan begitu saja di atas meja. Edo dan Sesya berjalan sambil bergandengan tangan menuju area parkir.

"Biar aman," ucap Edo seraya memakaikan helm ke kepala Sesya.

Diam-diam Sesya tersenyum kecil, menikmati perhatian yang diberikan Edo. Perasaan yang tak bisa diutarakan saat Filo yang memberikannya.

"Kita mau ke mana?" tanya Sesya.

Edo menghidupkan mesin setelah Sesya naik ke motor. "Gak tahu, kita keliling-keliling aja."

"Ish, gimana sih," protes Sesya.

"Udah, kamu duduk manis aja di belakang," sahut Edo seraya terkekeh kecil.

Motor Edo kini melaju, menyusuri jalanan kota Bengkulu yang ramai setiap akhir pekan. Langit oranye serta dersik angin yang menerpa wajah membuat suasana hati Sesya sedikit membaik.

Sesya memajukan wajah dan menompang di bahu Edo. "Sebenarnya kemarin aku ulang tahun!" serunya kencang.

"Kenapa baru bilang sekarang?" balas Edo, nada suaranya tak kalah tinggi.

Sesya terkekeh kecil. "Sebenarnya mau, tapi aku malu bilangnya."

"Jadi kamu sedih karena aku gak ucapin?" tanya Edo percaya diri.

"Kepedean!" seru Sesya seraya menepuk helm Edo. "Sedih dikit sebenarnya hehe tapi aku udah biasa, kok."

"Terus alasan sedih banyaknya kenapa?" tanya Edo lagi.

Sesya terdiam sesaat begitu memorinya memutar kembali isi secarik kertas pemberian Filo. "Aku dapat hadiah dari seseorang yang aku sayang, tapi dia udah pergi ninggalin aku."

"Jahat banget! Aku sumpahin hidupnya sengsara terus!" seru Edo. Kali ini dengan nada sangat kencang agar semesta mendengar.

Kalau kamu tahu orang itu adalah kamu, masih bisa doa kayak gitu? batin Sesya.

"Kata bunda gak boleh tahu doain orang yang jelek-jelek," nasihat Sesya.

"Okay, doanya aku tarik lagi," respon Edo tanpa perlu beradu mulut. "Tapi aku janji, aku gak akan kayak orang itu yang beraninya ninggalin kamu."

Sesya hanya mengulas senyum tipis dan diam-diam mengaminkan dalam hati.

"Oh ya sebelum lupa ... happy birthday, Sesya Ornella."

-To Be Continued-

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang