Chapter-37 : Sup Kimlo Buatan Edo

186 19 3
                                    

Bel sekolah berbunyi nyaring, bertanda jika sudah waktunya pulang. Murid-murid di kelas Sesya bersorak senang dalam hati. Akhirnya setelah satu jam setengah mendengar ocehan tentang rumus-rumus kimia yang sangat memusingkan, mereka bisa keluar dari ruang simulasi neraka itu.

Salah satu yang paling antusias adalah Jicko, lelaki itu sangat membenci kimia apalagi guru yang mengajar sangat ringan tangan padanya. Ia langsung memasukkan buku-buku dalam ransel, padahal wanita berusia empat puluh tahunan itu masih berada di kelas. Lengkap dengan penggaris kayu raksasa yang tak pernah lupa ia bawa.

"Akhirnya keluar juga dia!" seru Jicko riang setelah wanita berjilbab hitam dengan flower pattern itu keluar.

Sesya yang sedang memasukkan buku ke dalam tas menghentikan aktivitasnya lalu melihat ke arah Jicko. "Jick," panggilnya.

"Kenapa?" Jicko memicingkan mata curiga. "Manis kali suara kau. Jadi curiga aku ada maunya."

"Tahu aja." Sesya menyengir lebar.

"Ha kan apa kubilang. Firasatku emang gak pernah salah," celetuk Jicko.

Sesya menggulir bola mata malas. Ingin membalas, tapi ditahan daripada permintaannya nanti ditolak Jicko.

"Mau minta apa kau?"

Sesya terkekeh kecil. "Itu ... aku mau nebeng. Boleh gak?"

"Bah, tumben. Bukannya kau biasa pulang naik bus," tanya Jicko heran.

"Iya, tapi hari ini aku mau ke swalayan dekat apartemen Biru. Kamu kan pulangnya selalu lewat jalan itu. Boleh, kan?" jelas Sesya.

"Gak apalah, tapi kau yakin mau ke sana? Bukan mau ke apartemen Biru?" tanya Jicko seraya menaik-turunkan kedua alis. Masih belum menyerah membuat kapal favoritnya ini berlayar.

"Swalayan, Jickoo. Lagian heran, deh masih aja kamu jodoh-jodohin aku sama Biru padahal kan kamu sendiri yang bilang kalau Biru gak suka sama aku," kesal Sesya lalu memajukan bibir bawah.

"Iya, taunya aku. Cuma aku nih agak gak sreg aja lihat si Biru makin lengket sama Cindy," cerita Jicko.

Dahi Sesya mengernyit. "Masa, sih?"

"Selain ansos, ternyata kau emang gak peka juga, ya, Sya. Kawan sendiri padahal," omel Jicko seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Sesya menyengir lebar. "Tapi ini boleh kan? Di luar lagi panas banget makanya aku mau nebeng."

"Iya, iya. Berisik kali kau!" kesal Jicko lalu berjalan ke luar kelas. Diekori dengan Sesya di belakang yang diam-diam melirik ke arah Cindy dan Biru dari ekor mata.

***

Udara yang tadi panas, kini berubah sejuk. Rintik hujan perlahan turun membasahi kota Bengkulu. Perlahan-lahan bulir bening itu turun semakin deras. Terpaksa Sesya meneduh di depan swalayan.

Sedikit perasaan menyesal muncul. Seharusnya dia langsung pulang ke rumah, bukan mengikuti hawa nafsu dan membeli roti dari brand favoritnya yang baru mengeluarkan varian baru.

Jicko sudah pulang dari beberapa menit lalu setelah menurunkan Sesya di swalayan itu. Langit semakin mendung serta angin dingin berembus menusuk daging.

"Haatchi! Haatchi!"

"Itulah pentingnya bawa jaket ke mana-mana."

Sontak Sesya menoleh ke samping, ke sumber suara. Pupil matanya membulat lebar kala mendapati sosok lelaki jangkung berdiri di sebelah sambil menatap langit.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang