Chapter-11 : Cika, Ciki, Miki

759 122 68
                                    

Selama 16 tahun hidup di bumi, ini adalah kali pertama Sesya pergi berkunjung ke rumah temannya. Sesuai dengan diskusi singkat di sekolah, Sesya, Biru dan Jicko telah memutuskan untuk mengerjakan tugas di kediaman Biru.

Sebab rumah Sesya terlalu jauh, sedangkan di rumah Jicko ada adik kembarnya yang suka mencari perhatian pada Biru. Jadi tempat Biru adalah pilihan yang tepat.

Albiru Kawakibi, lelaki itu tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil di dekat sekolah. Ah, tidak benar-benar sendirian karena ia memiliki tiga ekor kucing Persia bewarna oranye-putih yang gembul.

"Eh, ada kucing?" seru Sesya.

"Kau gak tahu? Si Biru emang lebih suka kucing daripada manusia," sahut Jicko sembari mengelus-elus kucing yang ekornya paling panjang.

Daripada merespon ucapan Jicko, Biru memilih untuk menuangkan makanan kucing di mangkuknya. Sesya jadi yakin kalau ucapan Jicko tadi memang benar.

"Lucu banget." Sesya jongkok sembari mengelus kucing yang menggosokkan tubuh ke kakinya. "Namanya siapa?"

"Itu namanya Miki, emang suka ngelendot sama cewe. Kalau yang aku pegang namanya Ciki, kalau yang lagi mantau si Biru nuangin makanan namanya Cika, kucing yang hobi makan makanya badannya gendut," jelas Jicko.

Sesya manggut-manggut paham sembari mengelus Miki. Sepertinya akan menyenangkan jika ia bisa memelihara kucing di dalam rumah, tapi sayang kedua orang tuanya tidak akan memberi izin.

"Eh, orang tua Biru ke mana? Pergi kerja?" tanya Sesya sembari menyisiri tiap sisi.

Jicko menggeleng sembari mengganti posisi ke atas sofa. "Biru tinggal sendiri, orang tuanya suka pindah-pindah kota makanya si Biru tinggal sendiri di sini."

Sesya manggut-manggut paham lalu melihat sekilas Biru yang sedang memasak sesuatu di dapur.

"Kau tahu rumah megah yang di pusat kota itu?" tanya Jicko berbisik-bisik dan dijawab dengan gelengan kepala oleh Sesya. "Itu rumah Biru aslinya, tapi karena kebesaran dia milih tinggal di apartemen kecil gini. Ntar kalau orang tuanya balik Bengkulu baru dia balik ke rumah itu."

Fakta baru tentang Biru semakin membuat Sesya terpukau. Pantas saja tidak merasa takut pada siapa pun, toh dia adalah anak orang paling kaya di Bengkulu.

"Tapi gitu-gitu dia anaknya baik, sayangnya kurang kosa kata aja," lanjut Jicko.

Sesya mengernyitkan dahi. "Dia anak 'istimewa'?"

Tawa Jicko pecah mendengarnya. Ia tergelak sampai terjatuh dari sofa. Namun, sudah begitu pun Biru tampak tidak peduli.

"Bukan gitu, Sesya Ornella. Si Biru sama kayak kau, kurang sosialisasi sama manusia," jelas Jicko.

"Enak aja! Aku emang kurang sosialisasi, tapi gak kekurangan kosa kata tahu!" protes Sesya sambil memajukan bibir bawah.

Jicko memutar bola mata malas. "Sama aja, sama-sama gak bisa memulai percakapan, introvert, kaku. Aku rasa kayaknya kalian berdua jodoh."

"GAK MUNGKIN! JODOH AKU TUH KA-" Sesya langsung menutup mulut dengan telapak tangan. Dasar bodoh! Malah keceplosan!

Pandangan Jicko dan Biru otomatis terfokus pada Sesya yang tiba-tiba berteriak tak jelas.

"Kau ... salah tingkah, ya?" goda Jicko sembari menaik-turunkan kedua alisnya.

Mulut Sesya terbuka mendengarnya. Ternyata gini rasanya punya teman yang aneh.

***

"Gak mau mampir dulu?" tawar Sesya sembari melepas helm lalu mengembalikan pada si empunya.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang