Bagi Sesya hari yang ia benci sekaligus paling sial adalah hari rabu, karena hari itu adalah jadwalnya piket dan Sri, guru paling killer satu sekolahan masuk kelas. Bukan itu hanya saja, Sesya bahkan mendapat tugas untuk membawakan tumpukan buku catatan milik kelasnya ke ruang guru agar bisa diperiksa oleh wanita lanjut usia itu.
Buku-buku yang menggunung di tangan Sesya tidak terlalu berat, tapi malas saja rasanya untuk masuk ke ruang guru. Jadi Sesya sengaja memperlambat jalan menyusuri koridor, membiarkan Sri lebih dulu jalan di depan.
Sesya mendengkus kesal. Padahal si Cindy yang terakhir kumpul, tapi kenapa aku yang disuruh, sih, keluhnya dalam hati.
"Woi, bagi sini!"
"Dan, buruan!"
Suara riuh dari lapangan basket membuat atensi Sesya teralihkan sejenak. Manik mata cokelat miliknya menoleh ke kiri, mendapati sang bintang sekolah dengan seragam official basket SMA Bina Bangsa bewarna oranye hitam melekat di tubuh atletis Dana.
Waktu seolah melambat kala tubuh Dana bergerak gesit men-dribble bola oren itu. Surai hitam dengan model comma ikut bergoyang saat si empu berlari. Mulut Sesya terbuka kecil dengan mata yang tidak bisa teralih dari lelaki itu.
Kala bola oranye beralih tangan, pandangan Sesya masih setia pada Dana. Apalagi melihat otot-otot tangan yang terekspos jelas saat memakai baju tanpa lengan itu. Namun, tiba-tiba ....
Braak!
Bola oranye yang sedari tadi memantul di lapangan kini beralih memantul ke kepala Sesya, membuat tubuh gadis itu oleng dan ambruk ke lantai dan buku yang berada di tangan jatuh berhamburan. Beruntung tidak sampai pingsan.
Sontak dua orang lelaki berlari cepat ke arah Sesya dari lapangan. Ia tidak kenal siapa lelaki berambut cepak, tapi satunya lagi tentu saja dia kenal. Siapa lagi kalau bukan calon suaminya di masa depan nanti, Dana.
"Gak apa-apa, kan?"
Rasanya Sesya mau memaki lelaki yang menanyakan hal itu padanya. Bagaimana bisa tidak apa-apa setelah mendapat benturan dari bola basket yang dilempar kencang.
"Gak sengaja aku. Betollah kubilang," ucap laki-laki itu lagi dengan logat medan yang kental.
"Biar aku yang urus, kau lanjut main aja," ucap Dana sembari membantu membereskan buku-buku yang berserakan.
Laki-laki itu mematuhi ucapan Dana, ia mengambil bola basket di dekat Sesya kemudian kembali menuju lapangan.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Dana dengan raut wajah khawatir.
Pertanyaan yang menyebalkan, tetapi karena Dana yang bertanya justru tidak lagi menyebalkan. "Gak apa-apa, Kak. Cuma pusing sedikit aja."
"Sorry, ya tadi gak sengaja. Sini aku bantuin. Ini mau dibawa ke ruang guru, kan?" tanya Dana dengan tumpukan buku di tangannya.
"Eh, iya, Kak mau dibawa ke ruang guru," sahut Sesya.
"Kamu tunggu di sini aja, nanti aku ke sini lagi." Tanpa menunggu respon dari Sesya, Dana langsung berlalu menuju ruang guru yang berada di ujung koridor.
Sedangkan Sesya berusaha bangun dan duduk di bangku kayu panjang yang berada di dekatnya. Kepala masih terasa sangat pusing, tapi ia tetap memaksakan diri.
Tidak lama, Dana kembali dengan tangan kosong. Ia langsung mengambil tempat di sebelah Sesya. Raut wajah lelaki itu masih khawatir, tetapi terlihat tampan di saat yang bersamaan.
"Mau ke UKS gak?" tawar Dana.
"Eh, gak apa, Kak. Nanti makan yang pedas-pedas, pusingnya juga hilang," tolak Sesya dengan bibir pucat menyungging lebar.
![](https://img.wattpad.com/cover/191330624-288-k753004.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Ficção AdolescenteApa yang akan kamu lakukan jika ada seorang lelaki datang dan mengaku jika dia adalah anakmu dari masa depan? Awalnya Sesya tidak percaya, tetapi setelah Filo menunjukkan bukti yang telah ia siapkan perlahan membuat Sesya percaya mengatakan dan lulu...