Bel pulang berbunyi, artinya sudah tiga jam Sesya mengurung diri di dalam kamar mandi. Seragam putih abu-abu yang melekat di tubuh mulai mengering, tapi jika ia memaksa keluar pasti akan menjadi pusat perhatian.
Krieet!
Daun pintu kamar mandi terbuka sedikit, Sesya mengintip keluar dan tidak banyak orang yang terlihat. Ia lalu berjalan keluar, mengarah ke anak tangga alih-alih menyusuri koridor hingga ujung.
Tujuannya saat ini adalah atap sekolah untuk mengeringkan tubuh. Berharap tidak ada yang naik ke sana, karena pada sore hari SMA Bina Bangsa tidak sepi sebab ada banyak murid yang berada di lingkungan sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler.
Gadis itu melangkah perlahan, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa dirinya dan menerbangkan tubuh yang basah. Terkadang dia bingung mengapa semesta sulit sekali membiarkan ia merasakan bahagia.
Apa jangan-jangan di masa lalu aku pembunuh? batin Sesya bertanya-tanya. Bingung mengapa dirinya selalu mendapatkan kesialan. Padahal setelah datangnya Filo, Sesya berharap jika hari-harinya selalu dipenuhi kebahagiaan. Namun, yang datang malah semu. Datang sebentar lalu pergi lagi.
Dengan tubuh setengah basah, Sesya duduk di atas atap sembari meluruskan kaki agar rok abu-abunya cepat kering. Meski sedang sial, tetapi setidaknya langit hari ini berbaik hati padanya. Ia memberikan ruang pada mentari agar bersinar dengan terik.
Tidak lama daun pintu besi yang menjadi batas antara atap dan gedung sekolah berderit, tanda ada seseorang yang membuka. Kepala Sesya otomatis berbalik ke belakang. Akan gawat jika yang membuka adalah Arel.
Melihat sosok laki-laki berambut hitam dengan kemeja biru langit yang membalut tubuh, membuat Sesya mengembuskan napas lega. Itu adalah kemeja yang dia pakai saat pertemuan pertama mereka.
"Mama? Kenapa masih di sini? Tas Mama juga masih ada di ke-" Kalimat Filo terpotong begitu sadar rambut dan baju Sesya sedikit basah. "Kenapa Mama basah?"
"Gak apa, kok," sahut Sesya menyeka hidung seraya tersenyum lebar, seolah mengatakan jika dia baik-baik saja.
Namun, Filo bukan anak-anak. Dia pria dewasa. Dia langsung mendekat dan memastikan penglihatannya masih berfungsi dengan baik. "Kan beneran basah. Mama kenapa? Gak mungkin basah begini kalau gak terjadi apa-apa. Ada yang gangguin Mama?"
"Eh, enggak! Enggak!" Sesya menggeleng. "Itu ... aku tadi gak sengaja kesiram air bekas pel sama OB jadi gitu, deh."
Filo menghela napas. Sesya keras kepala, dia tidak bisa memaksa gadis itu untuk berkata jujur. "Ayo, pulang. Aku yang antar."
"Eh, bentar lagii. Aku masih mau di sini," tolak Sesya membuat Filo semakin heran. Namun, laki-laki itu langsung paham ketika melihat ke objek yang sama seperti gadis itu lihat. Lututnya terluka.
***
Ransel Sesya berada di depan tubuh Filo, sedangkan si empu berada di belakang. Kedua tangan memeluk erat leher Filo dan kepalanya sembunyi di kerah baju. Malu sebab sepanjang jalan ada banyak orang yang melihat mereka berdua.
Bukan hanya menanggung malu sebab bau, kotor dan basah. Sesya juga tidak bisa menatap wajah orang-orang yang melihat dirinya digendong oleh Filo.
Pada awalnya, Filo ingin menggunakan alat teleportasi, tetapi energinya tidak akan cukup. Terpaksa lelaki itu menggendong Sesya pulang ke rumah, sebab tak memungkinkan gadis itu naik bus atau berjalan kaki.
"Filo, turunin di sini aja. Rumahku kan udah dekat. Malu tahuuu dilihatin banyak orang," protes Sesya. Wajahnya masih bersembunyi di ceruk leher Filo.
"Gak bisa, lutut Mama masih sakit. Aku gendong sampai masuk rumah," tolak Filo tegas. Dari nada suaranya, Sesya sadar jika kali ini laki-laki itu tidak bisa diajak negosiasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Novela JuvenilApa yang akan kamu lakukan jika ada seorang lelaki datang dan mengaku jika dia adalah anakmu dari masa depan? Awalnya Sesya tidak percaya, tetapi setelah Filo menunjukkan bukti yang telah ia siapkan perlahan membuat Sesya percaya mengatakan dan lulu...