Sepasang kaki jenjang tengah berjalan menyusuri trotoar, rambut sebahu menutupi wajah manis yang tertunduk. Langkah lemas seolah tak ada gairah menjalani hidup. Kemudian berhenti di depan sebuah swalayan.
Swalayan kecil, tetapi lengkap dan dekat dengan SMA Bina Bangsa, sekolahnya. Sudah jarang gadis itu mengeluarkan beberapa lembar uang di sana, sebab anaknya lebih suka memakan siomay milik Hasan dibandingan jajanan di swalayan ini.
Tungkainya mengarah ke sebuah rak berisi aneka roti-rotian, makanan kesukaan yang tak bisa dilewatkan. Tangan Sesya meraih beberapa jenis roti dari brand yang sama lalu berbalik untuk mengambil es krim di belakang.
Namun, tanpa sengaja tubuhnya beradu dengan seorang lelaki berambut hitam model comma hair yang sedang trendi di Bengkulu.
"Sorry, aku gak sengaja," ucap lelaki itu sembari memunguti roti-roti yang berjatuhan di lantai.
Suara bariton itu terdengar sangat familiar. Sesya tertegun kala mendengarnya. Otak mulai bekerja, mencari-cari siapakah kira yang memiliki suara seperti itu.
"Sorry, ya aku gak sengaja." Lelaki itu berdiri tegap seraya mengulurkan roti yang sudah ia pungut.
Alih-alih menerima roti itu, tubuh Sesya justru membeku. Sepasang pupil mata melebar melihat sosok laki-laki yang berdiri di depannya. Pantas mengapa suara lelaki itu terdengar tidak asing.
"Edo?" Tanpa sengaja Sesya mengeluarkan suara, memanggil lelaki itu.
"Kau tahu namaku?" Kedua alis Edo menekuk heran.
Sesya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan suara.
"Oh, kau penggemar band Topaz, ya?" Lelaki itu lalu terkekeh kecil. "Gak usah grogi gitu. Mau tanda tanganku? Aku akan kasih gratis, kalau kamu gak bilang ke siapa-siapa ketemu aku di sini."
Gadis itu benci mengakui kebenaran, sebab tidak ingin menyakiti hati lelaki yang tengah meninggi itu. Setengah hati kepalanya mengangguk.
"Sini bukumu, biar aku tanda tangan," pinta Edo.
"I-iya." Sesya mengeluarkan sebuah buku tulis dari dalam ransel kemudian memberikan pada lelaki penuh percaya diri itu.
"Siapa namamu?" tanya Edo seraya mengukir tanda tangan di halaman terakhir buku catatan Sesya.
"Sesya Ornella, namaku Sesya Ornella," jawab Sesya.
Edo manggut-manggut paham. "Nama yang bagus. Nah, ini sudah siap." Ia mengembalikan buku itu pada si empunya.
"Kamu sekolah di mana?" tanya Sesya seraya memasukkan kembali buku ke dalam ransel.
"Dekat dari sini, SMA Putra Kesuma," sahut Edo.
Itu adalah sekolah lama Sesya sebelum pindah ke sekolahnya yang sekarang. Namun, gadis itu tidak pernah sama sekali melihat Edo.
"Astaga, hujan!" seru Edo.
Pandangan Sesya seketika beralih ke jendela besar yang menghadap ke jalanan. Seperti yang dikatakan lelaki itu, bulir-bulir bening berjatuhan membasahi kota Bengkulu yang tiap hari kian memanas.
Edo menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sebuah kebiasaan yang juga sering dilakukan Filo ketika sedang bingung.
"Sorry, aku gak bisa ngobrol lama. Aku harus pergi sekarang sebelum hujan makin deras," pamit Edo lalu memakai topi hoodie bewarna hitam yang melekat di tubuhnya.
Tanpa bersuara, Sesya menganggukkan kepala. Namun, gadis itu segera mencengkram pergelangan tangan kiri Edo tepat saat ia melangkah.
"Kenapa? Kamu mau foto?" tanya Edo dengan alis menekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Ficção AdolescenteApa yang akan kamu lakukan jika ada seorang lelaki datang dan mengaku jika dia adalah anakmu dari masa depan? Awalnya Sesya tidak percaya, tetapi setelah Filo menunjukkan bukti yang telah ia siapkan perlahan membuat Sesya percaya mengatakan dan lulu...