Ari mengurut keningnya yang terasa berdenyut sejak tadi. Padahal sudah dua gelas kopi tandas di atas meja kerjanya. Namun tetap tidak mampu meredakan rasa nyeri di kepalanya.
Ari memang bukan tipikal orang yang senang mengkonsumsi obat pereda sakit, melainkan lebih memilih meneguk kopi pahit bergelas-gelas untuk menghilangkan sakit kepala yang sedang menderanya.
Namun kali ini usahanya tak membuahkan hasil. Alih-alih membuat kepalanya membaik, justru ia malah makin pusing saja dibuatnya.
Dasi yang ia kenakan sudah melonggar. Begitu pula lengan kemejanya yang sudah ia lipat hingga melilit sampai ke siku. Padahal baru hampir jam sepuluh pagi sekarang, tetapi wajah Ari malah sudah kusut tak karuan seperti kemeja yang tidak pernah bersentuhan dengan setrika saja.
"Kenapa? Pusing banget gue perhatiin," sahut Zidan yang baru saja memasuki ruangan. Lelaki itu datang dengan beberapa lembar kertas di tangan kanannya.
Ari langsung merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Meletakkan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaannya dan memilih menatap Zidan yang tengah memasuki ruangannya.
"Apa nih?" tanya Ari melirik berkas yang disodorkan padanya.
"Berkas serah terima untuk perusahaan yang diakuisisi kemarin. Gue baru dapat berkasnya tadi pagi. Sisa nunggu tanda tangan lo aja sih."
Ari mengangguk paham. "Taro dulu aja kalau gitu."
Zidan memilih merapat ke sebuah sofa. Ikut merebahkan diri di sana, sambil melirik Ari yang masih betah di singgasananya.
"Lo nggak pulang ke apartemen ya semalam?" tebak Zidan setelah melihat pakaian lusuh yang masih dikenakan oleh sahabatnya itu. Zidan ingat betul dengan kemeja itu. Kemeja yang Ari kenakan kemarin.
"Bukannya semalam lo pamit pulang duluan, ya?" lanjut Zidan setelah mengingat momen ketika ia masih sibuk di depan komputer dan Ari mampir di ruangannya untuk mengajaknya pulang bersama.
"Oh ini...habis makan semalam, gue balik ke kantor lagi buat nyelesain kerjaan yang belum kelar," jawab Ari dengan cepat sebelum Zidan berkomentar lebih jauh lagi.
"Balik kantor lagi? Gue balik dari kantor bareng Kalil udah lewat jam sebelas malam loh. Nggak ada tuh gue liat lo balik ke kantor. Emang lo balik ke sini jam berapa?"
Sorot mata Zidan nampak memicing. Tampak jelas sekali jika lelaki itu sedang menyelidikinya sekarang.
"Gue balik jam tiga pagi. Lagian ngapain lo nanya-nanya segala sih. Penting banget emang untuk lo tahu gue balik jam berapa."
Zidan tertawa renyah. Entah sedang menertawakan apa, yang pasti Ari tak ingin terlibat dalam tawa barusan.
"Lo nggak check in hotel sama perempuan sembarangan karena habis diputusin Angel kan? Gue khawatir aja lo sampai segalau itu."
Usai Zidan berbicara, ketika itu pula sebuah pulpen meluncur di keningnya. Ari melemparnya dengan sangat tepat. Namun sayangnya malah membuat Zidan makin terkekeh karenannya.
"Berarti dugaan gue emang benar. Ri, lo segitu frustasinya ya dicampakkan sama Angel. Mau gue kenalin cewek baru nggak. Kebetulan ada nih satu apartemen gue yang....bolehlah. Kayaknya bakal cocok sama lo. Dia seorang model majalah gitu, by the way. Urusan look nggak usah diragukan lagi pokoknya."
Dan untuk kali pertama, baru sekarang Zidan melihat Ari menolak tawarannya perihal perempuan. Ari menggeleng, lalu dengan mantap ia berucap, "Nggak, makasih."
Zidan jelas kaget dengan perubahan sikap si pencinta wanita akut itu. "Lo serius segalau itu gara-gara Angel, Ri? Emang Angel cantik sih. Tapi kalau dicampakan kayak gini, ya ngapain. Kayak nggak ada cewek lain aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...