41

614 67 3
                                    









-



Pernah gak sih terpikir kenapa tuan crab yang notabenenya seekor kepiting malah memiliki anak seekor paus? Siapa juga istrinya? Apa Pearl adalah seorang piatu? Broken home? Atau malah hanya anak angkat tuan crab?

Hubungan Opah dan juga Tok Dalang di masa muda mereka juga masih tabu. Apa mereka hanya kerabat? Atau malah mantanan karena sikap Opah yang kadang terlihat salting jika menyangkut kakek tua itu?

Semua itu masih menjadi misteri. Livia mengangguk kuat. Setidaknya ia harus tetap hidup untuk menguak fakta-fakta atas misteri-misteri di atas yang belum terpecahkan. Maka itu, ia menekan rasa malunya kuat-kuat. Mencoba melupakan kejadian kemarin sore dan hidup seperti biasa.

"Huft." Satu hembusan nafas dikeluarkan secara brutal. Membuat pria di sampingnya menoleh kebingungan.

"Kenapa, Liv?"

Livia mengerjap, mencoba menyembunyikan gesture dan wajah resahnya dihadapan sang ayah. "I'm okay, Pa."

Sebelah alis tebal Handi dinaikkan, heran dengan sikap putrinya yang aneh sepulang main kemarin. "Kamu dibawa kemana kemarin sama si Aga?"

Bak sedang menelan batu, Livia kesusahan menelan ludahnya sendiri. Kenapa wajah ayahnya seolah memiliki kecurigaan besar? Tidak mungkin kan ayahnya itu curiga terhadap kejadian kemarin? Tidak, ia tidak boleh membiarkan ayahnya mengetahui apa yang telah dilakukannya kemarin sore.

Tuhan, mau ditaruh dimana mukanya jika orang lain tahu bahwa kemarin ia menerkam anak orang.

"Kan aku udah bilang abis mancing ikan di waduk." Syukur, kalimatnya berhasil keluar tanpa nada gugup. Ia tidak boleh membuat ayahnya semakin curiga.

"Wah...." Mulut Handi menganga dengan ekor mata yang mencuri pandang ke arah kaki putrinya. "Kamu ... gak kesambet setan sana kan?"

Livia memutar wajahnya secepat kilat. Matanya melotot horor. Membuat Handi yang berada dibalik kemudi menjadi gelisah sendiri sambil bersiap melafalkan ayat suci.

"Papa!" pekik Livia melihat mulut ayahnya yang berkomat-kamit. "Dikira aku setan apa pake dibacain aya kursi segala!" Kalo kemaren sih, iya kayaknya gue kerasukan setan.

Leher Handi berputar lamban, wajahnya masih menunjukkan kecurigaan. "Oh ... bukan emang?"

"Ya bukanlah!" sambar Livia kesal. Pagi-pagi udah nabung dosa aja gara-gara teriak-teriak sama orang tua. Salahin aja ayahnya yang super random ngira dia setan. Ngeselin.

Handi mengusap dada, lega. "Syukur deh." Ia mengambil jeda untuk memaparkan alasannya. "Ya lagian kamu, Liv. Dari kemaren planga-plongo gak jelas, orang nanya malah sibuk ngelamun, abis itu langsung jedor-jedorin kepala ke tembok lagi. Papa 'kan jadi takut."

Pagar sekolah sudah di depan mata. Tempat itu sudah dipenuhi oleh siswa-siswi yang hendak masuk. Livia bernafas lega karena ternyata ia belum terlambat. Tangannya bergegas melepas seat belt.

"Aku masuk ya, Pa," pamit gadis itu tanpa mengindahkan racauan ayahnya perihal sikap aneh dirinya.

"Et et, tunggu dulu," tahan Handi sesaat setelah Livia menyalimi tangannya dan bergegas membuka pintu. Kening putrinya mengerut samar.

"Kenapa?"










"Kamu ... beneran gak diikutin setan?"

Rahang Livia jatuh.

Tah habis pikir dengan ayahnya.

"Pikir aja sendiri."

Blug!

BE WITH ME | wolfiebear [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang