44

442 57 2
                                    

-

"Udah bel, Pak."

"Iya, bapak juga denger, Radhea." Pak Jonathan menyahuti seruan Radhea sambil terkekeh kecil.

Maklum, bagi para siswa, bel pulang ini bagaikan alunan musik paling indah yang sangat ditunggu-tunggu. Makanya saat suara itu mengalun dari speaker kecil di sudut kelas, anak-anak yang tadinya lemas setelah mengerjakan ulangan harian kini bisa langsung sumringah.

"Sekian pelajaran hari ini, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Yuk, kalian bisa pulang," ucap guru itu mengakhiri kelas. Selanjutnya, dapat terdengar seruan bahagia siswa-siswi yang akhirnya dapat pulang ke rumah.

"Mata gue kenapa ya, suka langsung lemes gitu kalo liat angka-angka."

Livia yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas tertawa. Jam pelajaran tadi memang diisi dengan ulangan harian Matematika, jadi ia yang tidak terlalu menyukai mapel itu menyetujui ucapan Rai sepenuhnya.

"Mendadak ngantuk juga gue." Radhea menyambung.

"Iya kan?!" seru Rai mencari pembelaan.

Livia mengangguk. "Ngantuk liat angka, kalo liat angkanya di duit?"

"Itu sih, beda lagi!"

Radhea mengangguk, menyetujui ucapan Rai. "Apalagi kalo ada gambar Soekarno Hatta nya. Beuh, langsung seger!"

"Dasar mata duitan." Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam percakapan mereka.

Tangan Livia yang sedang bergerak untuk menutup resleting tasnya berhenti. Gadis itu mendongak, menemukan eksistensi Agarish yang menyampirkan tali ranselnya di satu bahu, sementara itu satu tangannya tenggelam di dalam saku celananya.

"Liv."

Gadis yang dipanggil tersadar dari lamunannya. Ck, hampir saja dia terpesona.

"Hm."

Aktivitas mengemas barangnya sudah selesai, jadi Livia langsung memakai tasnya di punggung. Mata gadis itu menatap ke depan kelas dan menemukan Rai dan Radhea yang ngacir duluan sambil nyengir, meninggalkannya dengan Agarish berdua saja.

"Kenapa?" tanya Livia. Gadis itu berusaha bersikap biasa saja.

"Gue mau ngomong."

"Bukannya ini lagi ngomong?" Alis Livia terangkat satu.

Tanpa banyak bicara Agarish meraih tangan Livia. Pemuda itu menariknya lembut, seolah memintanya untuk mengikuti langkah kakinya yang entah akan kemana.

Livia sendiri hanya diam dan menurut. Jika di situasi normal ia akan membalas genggaman pemuda itu, maka kali ini tidak. Ada alasan yang membuat ia tidak dapat melakukan hal itu.

Tujuan mereka tidak jelas sampai Agarish menghentikan langkahnya di taman belakang sekolah. Sudah bisa ditebak, tempat ini sepi. Pada jam-jam ini, jelas sekali parkiran dan area depan lah yang pasti sedang dipenuhi orang-orang. Mereka berbalapan untuk segera pergi dari sekolah.

"Lo masih marah?"

Livia mencengkram tali tasnya, tatapan matanya yang tadinya penuh kebingungan kini menajam. Kemudian, ia menguarkan tawa sumbang dari mulutnya. "Gue gak ngerti kenapa cowok selalu playing victim. Mereka selalu nanya 'gue ada salah?' 'salah gue apa?' 'kenapa lo marah?' dan bersikap seolah korban karena tiba-tiba dicuekin tanpa bisa ngaca dan introspeksi diri."

Agarish mengerjap. Jika berbulan-bulan yang lalu ia hanya bisa menangkap sikap kalem dan juga santai gadis itu, maka wajar jika ia kaget sekaligus salut dengan Livia yang kini lebih berani untuk mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.

BE WITH ME | wolfiebear [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang