Bab 1

26.9K 888 6
                                    

Suara sirene ambulan meraung-raung memasuki halaman rumah sakit. Lampu merahnya masih menyala berpendar-pendar. Meluncur masuk ke  halaman rumah sakit, ambulan langsung berhenti di depan ruang gawat darurat. Dan sebelum ambulan benar-benar berhenti, pintu belakangnya terbuka. Dua orang paramedis turun dan cepat-cepat mendorong brankar ke dalam ruang IGD. Diikuti seorang pria kurus yang terlihat cemas.

Larasati yang kebetulan hari itu bertugas di IGD, cepat-cepat keluar dari ruangan, membuka pintunya dan menahannya dengan kedua tangan dan kakinya.

"Bapak tunggu di luar saja," katanya pada pria tinggi kurus yang tadi ikut membuntuti dua rekannya. Lalu cepat-cepat menutup pintu, meninggalkan pria itu yang berdiri bengong di depan pintu.

"Kecelakaan tunggal. Korban sudah banyak kehilangan darah. Trauma kapitis. Harus segera di bawa ke ruang operasi." Rekannya yang dengan gesit mendorong brankar menjelaskan. Larasati termasuk perawat senior di rumah sakit ini.

"Tik, panggil dokter Romli. Suruh datang ke IGD cepat." Serunya pada anak buahnya yang juga sedang tugas di ruangan ini.

"Iya, mbak." Atik segera mengangkat aiphone untuk menghubungi dokter bedah. Pasien sudah dipindahkan ketika dokter Romli datang dengan terburu-buru. Kancing jasnya bahkan belum di kancing dengan rapi. Ia segera memeriksa pasien pria yang terbaring tidak sadarkan diri di atas pembaringan. Dan kesibukkan memperebutkan nyawa pun di mulai.

"Bapak Firmansyah? Silakan tanda tangan di sini untuk persetujuan operasi." Suster Atik menyerahkan selembar kertas informed consent pada Firman.

"Bagaimana keadaan Bapak Dewa, sus? Beliau bisa diselamatkan kan?"

"Bapak tunggu saja. Kami akan berusaha semampu kami untuk menyelamatkan pasien."

Mendengar penjelasan suster, wajah Firman semakin pucat pasi. Sebagai orang yang ditunjuk oleh atasan untuk menjadi pemandu sekaligus supir Dewa, ia merasa nasibnya hari ini sedang sial. Seharusnya ia tidak mengizinkan Pak Dewa untuk menyetir mobilnya sendiri. Jalanan licin sehabis hujan dan medan yang dilalui berat berkelok-kelok. Tapi dasar keras kepala, dengan entengnya Pak Dewa malah meremehkan peringatan semua orang. Baru sepuluh menit mobilnya keluar dari area proyek sudah keluar jalur dan membentur pohon.

Bagian depan mobil ringsek, kapnya sampai terbuka akibat benturan yang keras. Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan ke khawatiran mereka mengenai keadaan Pak Dewa. Sang investor mereka, pengusaha dari Jakarta.

Kalau beliau tidak selamat ... ah, Firman cepat-cepat membuang pikiran buruk di kepalanya. Pak Dewa akan selamat, beliau pasti tidak apa-apa. Bukankah dokter di dalam sedang berjuang menyelamatkan hidupnya? Sedang ia termenung cemas memikirkan majikannya, Pak Solihin dan Pak Rahmat datang dengan tergesa. Yang satu manager proyek dan satunya lagi mandor proyek. Keduanya atasan Firman, juga bawahan Pak Dewa. Mereka berdua sebenarnya tadi ikut membuntuti dengan mobil di belakang ambulan, tapi terjebak macet dan baru tiba di rumah sakit setelah Pak Dewa dibawa ke kamar operasi.

"Man, gimana keadaan Pak Dewa?" Dengan napas megap-megap Pak Solihin berusaha menghirup oksigen akibat lari-lari dari tempat parkir ke IGD. Badan tambunnya membuat dia kesulitan bergerak. Baru lari beberapa meter saja sudah kepayahan. Akibat sering makan enak tapi malas olah raga.

"Sedang ditangani dokter di dalam."

"Pak, sebaiknya bapak segera menghubungi keluarga Pak Dewa di Jakarta. Kasih tahu keadaan beliau." Pak Rahmat mengingatkan atasannya. Diingatkan begitu, Pak Solihin baru sadar dan hampir tepuk jidat. Kenapa ia bisa melupakan hal ini?

"Oh, ya, ya. Saya telpon keluarganya dulu. Kalau ada kabar dari dokter jangan lupa kasih tahu saya."

"Siap, pak." Pak Solihin segera berjalan keluar sambil mencari kontak keluarga bosnya di Jakarta. Ia harus menelpon untuk memberi kabar keadaan Pak Dewa. Untung saja ia sudah menyimpan nomor telpon keluarga bosnya, coba kalau tidak. Saat keadaan darurat seperti ini, siapa yang harus dihubungi?

*******************

Larasati memandang wajah orang yang terbaring tak sadarkan diri di depannya dengan tidak percaya. Ketika pasien kecelakaan mobil ini dibawa ke ruang IGD, ia tidak memperhatikan dengan jelas seperti apa wajahnya.

Maklum, sebagai seorang perawat ia terbiasa bertindak cepat dan gesit dalam menangani pasien. Apalagi menghadapi pasien gawat seperti tadi. Memberi pertolongan dulu baru memperhatikan yang lainnya.

Karena itu Larasati sangat kaget melihat wajah pasiennya ketika di kamar operasi. Bagaimana ia bisa melupakan pria yang nyaris menghancurkan masa depannya itu? Tapi sebagai tenaga medis profesional, ia harus mengesampingkan masalah pribadi dan mengutamakan nyawa pasiennya.

Baru sekarang ia bisa melihat dengan jelas wajah pasien.

Enam belas tahun ... enam belas tahun lamanya mereka tidak bertemu tapi Dewa sama sekali tidak berubah. Ia masih luar biasa tampan dengan hidung mancung, alis tebal dan bibir tipis yang proposional. Mungkin Tuhan sedang bahagia saat menciptakan raut wajahnya. Perbedaannya sekarang adalah wajah remaja Dewa telah tergantikan dengan gurat kedewasaan. Namun itu malah semakin menambah kharismanya.

Dewa terbaring di ruang ICU dengan masih tak sadarkan diri. Masih dengan selang oksigen sebagai alat bantu pernapasannya, serta jarum infus di pergelangan tangan kirinya. Dan layar monitor kardiograf yang menampilkan detak jantungnya.

Dewa mengalami trauma kapitis akibat benturan keras di kepalanya. Darah yang terkumpul menyebabkan kenaikan tekanan di dalam kepala. Jika darah tidak segera dikeluarkan dan perdarahan tidak cepat diatasi, nyawa pasien tidak akan tertolong lagi.

Tapi meski perdarahan sudah tertangani dan gumpalan darah sudah berhasil dikeluarkan, tapi keadaan Dewa masih mengkhawatirkan. Karena itu dokter Romli terus memantau keadaan pasien sampai benar-benar sadar. Karena bukan cuma benturan di kepala yang Dewa alami, tapi juga retak tulang kaki. Larasati tidak berani membayangkan separah apa kecelakaan yang menimpa Dewa. Dan bagaimana ia bisa mengalami kecelakaan itu? Terlebih lagi, sejak kapan Dewa berada di kota Malang ini? Apa yang sedang dilakukan Dewa di sini?

Bahkan saat matanya terpejam tak sadarkan diri, Dewa masih sangat tampan. Wajah yang akan membuat perempuan mana saja menggilainya. Larasati masih memandang wajah Dewa dengan beragam perasaan berkecamuk di hatinya. Ia tahu, mata yang kini terpejam itu bila saatnya nanti akan terbuka lagi hanya akan ada kebencian dan rasa jijik ketika memandangnya. Mungkin akan semakin dalam kebencian yang Dewa rasakan padanya, mengetahui ia sebagai salah satu tenaga medis yang telah menolongnya.

Larasati tidak mengerti apa yang kini ia rasakan di hatinya. Lelaki ini ... yang telah nyaris menghancurkan hidupnya kini terbaring lemah tak berdaya. Menggantungkan hidupnya dengan seutas benang tipis kehidupan. Melihat Dewa seperti ini, rasa iba tidak urung membanjiri hatinya. Meski Larasati tahu tidak seharusnya ia memiliki perasaan apa-apa lagi pada Dewa.

Tetapi lelaki inilah yang pernah mewarnai masa remajanya. Lelaki yang ia benci sekaligus ia cintai. Lelaki yang merusak hidupnya sekaligus menjadi alasan untuknya bangkit dari keterpurukan. Lelaki yang pernah memberinya mimpi buruk sekaligus mimpi indah seorang remaja mengenai dongeng pangeran tampan berkuda putih.

Larasati tahu, selama enam belas tahun ini ia belum bisa melupakan semua tentang Dewa. Semua perbuatannya, semua luka yang ia berikan. Meski begitu Larasati juga tahu ia tidak ingin lagi bertemu dengan Dewa atau menginginkan kehadiran pria itu dalam hidupnya. Jika sekarang ia kembali dipertemukan dengan Dewa, apakah ini memang takdir yang digariskan Tuhan untuknya?

Takdir atau bukan, satu hal yang Larasati yakini. Kali ini ia juga harus menghindari pertemuannya dengan Dewa. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan ruang ICU itu.

*** Hai teman -teman kesayanganku, sebagai permintaan maaf saya karena sudah unpublish seenaknya Kidung Cinta Alyssa. Saya publish cerita baru saya ini ya. Karena saya belum ada mood ngelanjutin novel KCA.

Anggap ini sebagai permohonan maaf saya, saya publish tiga bab sekaligus. Terima kasih.

Lembayung di ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang