Dari nol lagi

5.8K 493 9
                                    

"Berangkat jam berapa kamu?" Mama yang sudah selesai memasak menghampiri Dipa di kamarnya. Sejak kamarnya berubah menjadi ruang kerja sementara, Dipa tak tidur lama karena harus mulai membenahi kekacauan.

"Nanti jam Sembilan. Mama nggak masalah Dipa titip anak-anak semalam?" Ia mengatkat tangan ke atas, masih dalam posisi duduk di kursi kerjanya sekedar meregangkan otot-otot tubuhnya.

"Kamu pikir Mama bakal celakain anakmu." Mama selalu ketus jika diajak Dipa ngobrol.

"Ya, barang kali anak Dipa mau dicuci otaknya supaya nurut ke Mama bukan ke Dipa."

Dipa meringis saat mamanya memukul kepala Dipa dengan botol air mineral kosong yang tergeletak di atas meja kerja.

"Dip, mau nikah lagi kapan?"

Dipa beranjak, berjalan meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Ia tak mau menjawab justru masuk ke dalam kamar mandi lalu menutup pintu. "Itu anak bener-bener!" kesal mama. Seketika mama nelangsa, menatap kamar anaknya yang begitu sunyi. Tidak ada foto pernikahan, hanya foto Zena dan Zeno itupun hanya satu bingkai terpajang pada dinding.

"Dipa, jangan lama-lama menduda. Mama khawatir, Nak. Kapan kamu bisa move on, kapan kamu bisa lupain semuanya. Kapan kamu—"

"Ma! Ambilin shampoo! Habis, nih!" teriakan Dipa dari dalam kamar mandi membuyarkan rasa sedih mama yang berganti kesal lagi.

"Ambil sendiri!" teriak mama dari depan pintu kamar mandi lantas berjalan keluar kamar putranya.

Pukul Sembilan Dipa bersiap touring, ia membawa satu tas ransel berisi dua stel pakaian ganti. Zena dan Zeno sedang menemani opa main tenis di lapangan komplek. Mama hanya diam memperhatikan gerak gerik anaknya.

"Jaket bawa dua, Dip. Jas hujan juga, handuk, peralatan mandi, mau bawa makanan, nggak?"

Dipa menoleh, tangannya berhenti merapikan baju di dalam tas ransel. "Ma, Dipa mau touring, bukan kemping."

"Barang kali. Namanya ibu-ibu pasti ingetin anaknya."

"Thank you," sambung Dipa seraya nyengir kuda.

" Pulang bawa calon pacar atau calon istri ya, Dip."

"Ya ampun, Maaaa!" Dipa kali ini geram, ia bahkan mengusap kasar wajahnya. Mama hanya cengar cengir seraya berjalan mendekat.

"Nggak perlu cantik, asal baik. Terima kamu yang barbar dan anak-anakmu yang kalem. Mama bahagia dunia akhirat."

"Kapan-kapan aja. Dipa berangkat, bye cantik," goda Dipa mencolek dagu mamanya.

"Iya. Hati-hati. Salam untuk Juan, Bryan, dan Rino."

"Pasti." Dipa mencium kening mamanya lalu berjalan ke garasi. Ia meraih helm, segera memakainya lalu memasukkan kunci motor, ia hidupkan motor kesayangannya. Deru knalpot garang dan dalam begitu terdengar seram. Jaket kulit ia kenakan juga, tapi tak dirapatkan dengan dalam kaos dalaman warna hitam. Dipa melaju pelan meninggalkan garasi rumahnya yang tak ia tutup pagarnya, biar nanti saja, aman. Ia mampir ke lapangan tenis, pamit ke kedua anaknya yang segera berlari menghampiri saat Dipa melambaikan tangan.

"Hati-hati, Pa," pesan Zano. Ia menyalim punggung tangan Dipa disusul Zena.

"Pa, pulang bawa Mama baru, ya," celetuk Zena diakhiri cengiran.

"Otak kamu dicuci siapa?" Dipa mengusak kepala Zena gemas.

"Opa." Jawab Zena jujur. Dipa meringis. Papanya hanya melambaikan tangan dari jauh karena masih main tenis.

"Nurut Opa Oma, ya, besok Papa pulang." Dipa memeluk kedua anaknya, lalu kembali menghidupkan sepeda motor besar miliknya. Zena dan Zano kembali ke dalam lapangan, setelah itu Dipa baru meluncur pergi.

Single Father (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang