Markijut, double up!
__________________
Angin laut menerpa wajah Dipa, ia menatap ke laut lepas didepannya. Tatapannya masih saja sama sejak empat bulan lalu, kosong.
"Pak Dipa," sapa seseorang. Dipa menoleh ke kanan. "Dipanggil Bapak di anjungan utama," lanjutnya.
"Oke." Dipa berjalan mengikuti pria dengan pakaian khas pekerja minyak lepas pantai. Ia menaiki tangga demi tangga menuju ke anjungan tempat berkumpul papanya dan beberapa orang penting.
Pintu terbuka, Dipa melepaskan helm safety, berjalan mendekat ke meja kotak panjang terisi delapan orang termasuk papanya. Dipa duduk, tepat di sisi kiri papa.
"Dipa, kamu bisa ke sini setiap jadwal kosong kamu untuk cek situasi. Hal ini tidak wajib, tapi setidaknya kamu tau jika investasi kita memang digunakan dengan baik oleh mereka. Visit ke sini juga tidak sendiri, jika memang dibutuhkan dan ya ... jadwal kamu di kantor lengang. Karena kamu tau jarak ke sini tidak mudah."
"Baik, Pa." Dipa tak banyak cakap. Ia menatap semua orang di sana, pemimpin kilang minyak, juga beberapa tenaga ahli baik dari tempat tersebut juga wakil dari kantor pusat perusahaan minyak mentah tersebut.
"Soal laporan keuangannya seperti apa, kamu bisa belajar dari senior dari kantor pusat yang dulunya tenaga ahli di sini, kenalkan, Pak Pandu. Dia dulu pemimpin bagian pengelasan pipa bor di sini," tukas papa.
Dipa berdiri, saat pria bernama Pandu yang tubuhnya tinggi tegap walau rambutnya sudah berwarna silver, tetapi wajah tampan dan hidung bangirnya tak melunturkan jika ia sangat gagah.
"Saya Pandu," tutur pria berusia enam puluh tahunan itu.
"Dipa." Keduanya berjabat tangan lantas kembali duduk. Setelah pertemuan berakhir, Dipa lanjut bicara dengan pandu sambil berdiri di salah satu sudut lokasi pengeboran minyak lepas pantai sambil menikmati laut lepas yang hanya beratapkan langit cerah berawan warna biru.
"Saya setiap senin sampai jumat ada di kantor pusat di Jakarta, kalau butuh tentang laporan keuangan dana investasi, bisa saya berikan saat rapat RUPS."
"Baik, Pak." Dipa menjawab singkat lalu kembali diam dengan tatapan kosong ke arah laut.
Pandu terkekeh pelan, ia menyenggol bahu Dipa pelan. "Ada apa? Kayaknya punya masalah penting," tanya Pandu sambil bersandar pada pagar besi. Dipa tersenyum tipis, ia membungkuk, meletakkan kedua siku pada pagar besi. Hela napas panjang membuat Pandu tau bahkan bisa menebak apa masalah Dipa.
"Masalah perempuan, bukan?" Lanjut pria yang sudah memiliki banyak cucu tapi karena kepintarannya, masih dipakai tenaga juga pikirannya untuk bekerja padahal usia pensiun sudah lama terjadi. Lumayan dapat uang lagi pikir Pandu, bukan untuk memperkaya diri, tetapi memang ia tak betah di rumah, apalagi istrinya tak melarang dan anak juga menantunya membebaskan Pandu selama pria itu menjaga kesehatan. Memang mantan tukang las rig lepas pantai satu itu tak senang diam di rumah.
"Pak Pandu bisa nebak pikiran saya?" lirik Dipa.
"Saya cenayang, jadi tau." Pandu melipat tangan di depan dada.
"Serius?!" Dipa merespon dengan yakin.
Pandu tertawa geli, hingga kerutan di kedua sudut matanya terlihat. "Ya nggak, lah. Saya jadi cenanyang, nggak akan ada di tengah laut yang punya seribu misteri tanpa bisa ditebak atau dipastikan. Bercanda, anak muda serius banget. Ada masalah apa?"
Dipa kembali menghela napas panjang, ia awalnya ragu mau cerita, tapi Pandu terlihat meyakinkan. Jelas lah, Papa Pandu gitu, laki-laki yang punya keseriusan tentang masalah hidup tapi juga konyol. Memang agak diragukan, awalnya, padahal jempolan dalam memberi saran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomanceMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...