Diam-diam Dipa menuju ke sosok yang berdiri tak jauh dari rumahnya dengan cara keluar rumah lewat pintu belakang. Ia berjalan mengendap-ngendap memutar rumah tetangganya hingga berdiri tepat di belakang orang itu. Dengan kedua tangan ia masukan di saku celana pendek yang dikenakan, Dipa berdehem. Seketika membuat orang di hadapannya membulatkan mata.
"Kenapa ke sini." Nada bicara Dipa begitu serius dan ketus. Tak di jawab, Dipa kembali bertanya. "Dari tadi lihatin ke arah rumah. Mau cari siapa? Zano? Zena?" tanyanya lagi. Perlahan lawan bicara Dipa memutar tubuhnya, ia mendongak menatap pria janggung di depannya.
"Saya ... cuma khawatir dengan Zena. Maaf kalau memantau dari sini, saya—"
"Miss Leta bisa ketuk pintu dan masuk. Kalau kayak begini kayak tukang tagih kredit macet." Celetukkan Dipa membuat Leta harus sekuat tenaga menahan tawa bahkan hingga harus memejamkan mata supaya tak tertawa. Dipa menatap lekat. Leta yang begitu pendek, hanya sebatas dada Dipa yang memiliki tinggi badan 178 cm, membuat Letta begitu kecil berdiri di depannya.
"Saya pamit pulang kalau gitu. Emm, tapi maaf ... Zena nggak apa-apa, kan?"
Dipa mengangguk. "Dia baik-baik aja."
"Ah, syukurlah. Kalau gitu saya pamit pulang. Maaf sampai membuat Pak Dipa keluar rumah dan temui saya di sini. Maaf sekali lagi. Selamat mal— Eh! Eh! Eh! Mau ke mana! Pak, kok tangan saya di tarik!" protes Letta. Dipa tak peduli, dengan santainya ia menarik pergelangan tangan kanan guru dari Zena berjalan menuju ke arah rumahnya.
"Pak Dipa, aduh ... ini, Pak," protes Letta lagi. Mereka sudah berada di dalam rumah, tepatnya ruang tamu. Zena dan Zano berdiri di anak tangga kedua dari bawah, menatap heran melihat papanya dan miss Letta.
"Zena," sapa Letta lembut. Zena tersenyum lantas berjalan mendekat. Dipa melepaskan genggaman tangannya saat Zena memeluk Letta. "Kamu nggak apa-apa?" Letta berlutut, ia merapikan rambut Zena, menyelipkan ke balik telinga.
"Udah nggak apa-apa, Miss. Miss Letta kok bisa di sini? Terus, kok sama, Papa?" tunjuk Zena ke arah papanya yang lalu berjalan lebih dalam menuju dapur. Ia akan membuatkan teh hangat untuk tamu yang datang mendadak.
"Miss mau tau keadaan kamu, tapi Miss ragu mau masuk. Jadinya—"
"Miss Letta nggak punya kuota buat telepon atau chat Papa kayaknya, Zen. Makanya berdiri di bawah tiang listrik dari tadi sambil lihat ke sini dari tadi," sela Dipa seraya memasak air panas di teko warna hijau.
"Eh cieee ...," ledek Zano yang berjalan mendekat ke papanya lalu cengar cengir. "Miss Letta, Pa, dateng sendiri, kan," lirih menuju berbisik ke Dipa. Kedua mata Dipa menyipit, memberi tau jika candaan anaknya tak lucu apalagi berguna. Zano diam, ia mendekat ke Letta sekedar menyapa dengan menyalim tangan lalu pamit kembali ke kamarnya di lantai dua.
Letta dan Zena duduk di sofa ruang tamu, bercengkrama akrab bahkan saat Dipa sudah menyuguhkan teh hangat di cangkir, sosoknya seperti diabaikan dua wanita beda usia itu.
"Maaf cuma adanya teh manis hangat, kuenya belum ready stock." Kembali Dipa asal bicara. Letta tersenyum seraya mengangguk sekali.
"Zena besok sekolah, kan? Jangan takut, ya. Anak itu juga udah keluar dari sekolah, tadi kepala sekolah yang kasih tau. Besok-besok, kalau ada yang isengin Zena lagi, jangan segan melawan ya. Minimal teriak atau tendang kakinya, nggak apa-apa." Letta menggenggam jemari tangan Zena yang mengangguk paham.
"Miss Letta rumahnya di mana?"
"Jauh dari sini. Kenapa? Zena mau main?"
"Nggak. Mau minta Papa anterin Miss Letta pulang. Udah malam, nggak boleh perempuan pulang sendirian, nanti ada tukang culik. Kata Papa gitu, ya, kan, Pa!" seru Zena. Dipa menelan ludah susah payah, ia melirik Letta yang menatap seolah memastikan kebenaran kalimat ucapan Zena.
![](https://img.wattpad.com/cover/353892304-288-k895811.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomanceMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...