Selamat membaca
________________
Dipa fokus menjemur pakaian di halaman belakang rumah berlantai dua dengan nuansa American style. Rumah yang dulu ia berikan kepada istrinya kini hanya ia diami bersama kedua anaknya. Ia bersenandung pelan, begitu santai menjemur pakaian di bawah terik matahari pukul sepuluh siang.
Suara bel rumah berbunyi, Dipa bergegas ke depan masih dengan pakaian pagi tadi dan belum mandi. Ia mengintip dari jendela ruang tamu, tukang paket datang.
"Pagi, dengan Pak Dipa?" tukas mas-mas pengantar paket.
"Iya."
"Ini paket untuk Bapak."
"Oh, iya, makasih." Dipa menerima tapi dengan kening mengkerut. Ia tak pesan apapun, belanja online jarang sekali ia lakukan, lebih senang langsung ke lokasi hitung-hitung jalan bareng kedua anaknya. Setelah mas-mas pengantar paket pergi, ia membuka isi kotak kecil terbungkus warna coklat. Sambil duduk di teras rumah, ia terus membuka hingga melihat tutup kotak berwarna hijau tua. Dibukanya perlahan, hela napas seraya emosi tertahan terlihat dari wajahnya. Seketika Dipa membuang barang tadi ke tong sampah di depan lantas kembali masuk ke dalam rumah.
Kegiatan Dipa selanjutnya membersihkan lantai, ia menyapu juga mengepel rumah dua tingkat itu sendirian. Kegiatan rumah tangga bisa ia kerjakan tanpa bantuan siapapun dan rapi. Perkara belakangan dengan kebersihan dirinya, mandi sehari sekali juga tetap membuatnya tampan.
"Pa! Dipa!" Kini suara Bryan terdengar dari samping rumahnya. Dipa melongo dari balkon kamar Zano lantai dua dengan masih memegang gagang sapu.
"Apa!" jawab Dipa. Bryan mengangkat tas belanja warna merah. Dipa menyuruh Bryan masuk lewat pintu garasi. Bryan berjalan memutar ke depan karena rumah Dipa berada di hook, halaman samping bahkan tertata rapi dengan rumput dan tanaman. Ada meja taman dan kursi terbuat dari kayu yang sering dipakai Dipa duduk-duduk jika teman-temannya sedang kumpul.
"Pesenan lo." Bryan meletakkan di dapur.
"Thank you. Lo balik ke kantor?" Dipa meletakkan sapu di lemari khusus penyimpanan di samping kulkas.
"Nanti. Belum ada perintah bos." Bryan membuka kulkas, ia mengambil minuman soda dingin. "Lo kelewat rapi buat jadi duda dua anak, Dip."
"Gue mau ngapain lagi, ya rapi-rapi rumah, lah." Dipa mengeluarkan isi tas belanja yang di bawa Bryan. Segera ia masukan ke lemari penyimpanan makanan kering lalu menata minuman lain di kulkas.
"Zano sama Zena nggak tanyain Mamanya lagi?"
Dipa menoleh, ia menutup pintu kulkas sebelum menjawab. Ia sandarkan tubuh di depan pintu kulkasn. "Nggak. Udah lama, gue sampe lupa kapan terakhir anak-anak bahas atau tanya Mamanya."
"Terus, kapan anak-anak tau yang sebenarnya, Dip? Makin lama mereka makin besar. Lo juga nggak bisa selamanya begini." Bryan meneguk minuman soda lagi sementara Dipa mengangkat kedua bahunya.
"Gue mandi dulu, habis itu cabut ke tempat Juan lagi."
"Kita jadi touring? Anak-anak gimana?"
"Gue bawa," jawab Dipa santai.
"Eh, gila! Serius! Lo pake motor yang mana!" teriak Bryan kaget.
"Zano bisa boncengan sama lo. Motor lo nyaman buat Zano duduk. Makanya gue rapihin motor gue yang sekarang di Juan, biar Zena nyaman." Dipa masuk ke kamarnya, meninggalkan Bryan yang hanya bisa bersandar pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomansaMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...