Menjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan.
Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...
Mau tak mau Dipa kembali harus berbohong ke Zena, sengaja, karena ia tak mau Zena tau yang sebenarnya terjadi dengan kedua orang tuanya. Tak ada pertanyaan lagi setelah Dipa memberi alasan jika mamanya pergi karena ada hal penting dan terpaksa tidak kembali. Saat Zena sudah pulas tertidur, Dipa perlahan berjalan pelan keluar kamar putrinya.
Ia menuruni anak tangga satu demi satu dengan hela napas seolah cerita kelam kepergian wanita yang melahirnya kedua anaknya mewakilihi hatinya yang tak karuan.
TV dinyalakan Dipa, acara luar negeri yang menayangkan tentang modifikasi motor besar jadi pilihannya, tetapi tetap saja Dipa tak fokus.
Deru mobil terdengar di pelataran depan rumahnya, segera Dipa beranjak mengintip di balik gordin ruang tamu.
"Gawat!" paniknya lalu merapikan kaos yang dikenakan tapi rambutnya ia acak-acak berantakan.
"Dipa!" panggilan itu seketika membuatnya menempelkan kening pada dinding, ia meringis.
"Haduh, mati gue!" gumamnya kesal sambil menggigit kerah kaosnya.
"Dipa!" sekali lagi. Dipa segera membuka pintu ruang tamu, ia pasang wajah seolah baru bangun tidur.
"Maaf, tamu dilarang masuk tengah malam," ucapnya lantang.
"Papa! Lihat tuh anakmu!" tunjuk mama ke arah Dipa yang berjalan lunglai. Papa mengepalkan tangan ke arah putra bungsunya.
"Lagian malam-malam datengnya, bukan besok. Mendadak banget," gerendeng Dipa sambil membuka gembok pagar.
"Nggak boleh orang tuamu datang kapan aja? Apa jangan-jangan kamu lagi umpetin cewek?! Iya!" geram mama. Dipa melirik seraya berdecak sebal. Pintu ia buka, kedua orang tuanya berjalan masuk melewatinya seperti satpam saja, tidak dipeluk atau cium.
"Ma, Pa, ini Dipa, lho ... anak kalian, dikacangin," kesal Dipa lalu kembali menutup pagar dan memasang gembok.
"Kalau anak kami, nurut. Bukan kabur-kaburan terus. Mama capek, berangkat kemarin ke Balikpapan, jemput Papa dan sekarang harus ke sini. Kasih sambutan apa, kek!" umpat mama sewot. Dipa tersenyum, ia mendekat memeluk mamanya dari belakang, ia peluk manja lalu menciumi pipi kanan wanita yang gemas dengan kelakuan putranya.
"Nah, gitu, itu anak baik. Besok Mama transfer," ucap mama tapi tak lupa mencubit lengan putranya kesal.
"Satu miliyar, ya." Dipa melepaskan pelukan, ia berganti memeluk papanya yang balas menepuk punggung tegap Dipa.
"Boleh, kamu tau syaratnya apa, kan?" Mama meletakkan tas tangan merek ternama di atas sofa, lantas mencuci tangan di wastafel sebelum berjalan ke kamar kedua cucunya. Sedangkan papa ke kamar mandi di dekat dapur untuk buang air kecil.
"Syaratnya Dipa nggak bisa penuhi, ganti, deh, Ma!" Dipa membuatnya minuman hangat untuk kedua orang tuanya di dapur. Papa yang mendengar kalimat Dipa dari dalam kamar mandi hanya bisa menggeleng pelan.
"Dip, mau sampai kapan?" tegur papa seraya mencuci tangan di wastafel.
"Papa tau jawabannya, kan?" Dipa menuangkan air panas dari dispenser ke dua cangkir warna biru tua tanpa menatap papanya saat bicara.
"Syaratnya nggak berubah. Pilihan ada di kamu. Mau satu miliyar, turuti dulu Papa Mama." Papa berjalan ke arah tangga, menyusul mama ke kamar Zena dan Zano meninggalkan Dipa yang mendesah lelah lagi.
***
Kedua mata mama tak lepas menatap lekat Dipa saat mereka duduk bersama di meja makan. "Umurmu berapa tahun ini?"
"Astaga, Dipa, Mama dulu ngidam apaaa, punya anak kok begini amat." Mama jengkel lagi, ia bahkan menepuk-nepuk wajahnya saking tak tau menghadapi keras kepala sang putra mahkota.
"Dip, serius tolong jawab. Mau sampai kapan?" Kali ini papa menimpali.
Dipa mendongak, menatap tegas ke kedua orang tuanya. "Dipa boleh bersikap dan ambil keputusan sendiri, kan, Ma, Pa? Banyak cara supaya Dipa bisa bertahan hidup tanpa urus—"
"Take it or leave it." Tatapan papa begitu menusuk. Dipa mengangkat tangan ke udara.
"I can't, I'm sorry."
"Kondisi genting. Papa perlu ngemis ke kamu? Itu yang kamu mau? Apa kamu tau kalau kondisinya mulai parah. Dip, kamu yang bisa selidiki dan tangkap mereka. Papa nggak peduli kamu pakai cara halus atau barbar kayak biasanya. Papa mau kamu investigasi, tangkap, bawa ke hadapan Papa. Sesimple itu. Apa perlu Papa gaji kamu?" Papa kembali menekan keinginannya. Dipa masih diam menatap tajam. "Apa kamu tau kalau Papa rugi banyak?"
"Tau. Dipa baca laporannya," sahut Dipa santai.
"Terus? Mau kamu biarin gitu aja? Peduli sedikit, Dip," sahut mama.
Dipa menarik napas dalam lalu membuang pelan, ia melipat kedua tangan di atas meja makan. Bergantian mengarahkan pandangan ke kedua orang tuanya. "Dipa bukannya nggak mau bantu, tapi memang nggak tertarik baginda raja dan ratu."
Masih ada bercanda, mama yang kepalang kesal melempar Dipa dengan botol kecap. Barbarnya paham kan, sumbernya dari mana?
"Eits, nggak kena," tukas Dipa menghindar. Raut wajah mama berubah merah padam dengan napas memburu cepat.
"Alasan apa lagi, sih, Dip!" bentak mama. "Jangan kasih alasan terus! Tolong, Dip, tolong," lirih mama seraya menitikan air mata. Ia sudah tak tau lagi gimana cara Dipa supaya mau kembali.
Dilema dirasakan Dipa, tak mungkin ia tinggalkan anak-anaknya sendirian di rumah, lebih baik ia kehilangan segalanya asal kedua anaknya aman bersamanya.
Akhirnya, setelah pembicaraan semakin alot hingga adegan mama kembali melempar Dipa dengan bantal kecil di sofa, kotak tisu, bahkan baskom saking geregetannya dan Dipa selalu bisa menghindar. Ia mau membantu asal papa mamanya penuhi syarat yang ia mau. Win win solution di dapat. Bahkan papa harus rela menggelontorkan hampir lima puluh juta untuk memenuhi syarat yang Dipa minta.
"Papa Mama tidur di sini. Jangan bawa anak-anak touring besok." Mama memberengut sambil berjalan ke kamar Zena, ia akan tidur bersama cucu perempuannya sementara papa bersama Zano. Keduanya meninggalkan Dipa di ruang TV sendirian dalam keadaan lampu dimatikan, hanya TV yang menyala.
Dipa duduk diam, pandangannya kosong ke arah layar TV karena pikirannya ke mana-mana. Ia duduk menyilang kaki, jemari tangan kanan memutar ponsel. Setelah yakin, ia menghubungi Rino.
"Dip, jam berapa sekarang, ganggu aja lo." Rino kesal karena tidurnya terganggu telepon darurat.
"No, siapin peralatan gue. Kita pindahin ke kamar gue di sini aja. Papa Mama udah kasih tau semua dan—"
"Akhirnyaaa! Gitu dong. Lo jangan bikin gue semaput sendirian. Besok gue siapin, lo perlu apa lagi?"
Dipa diam sejenak, ia memejamkan mata berpikir keras. "Tim IT siapa aja?" lanjut Dipa.
"Lo maunya siapa?"
Kembali Dipa diam, ia berpikir sejenak. "Faldo. Lo bisa pegang dia, kan?"
"Bisa asal uang tutup mulutnya sesuai, Dip. Lo tau alasan dia matre ke kita."
"Hm."
"Ok. Gue hubungi dia sekarang. Besok gue sama Faldo ke sana."
"Ok. Thanks, No."
"Sama-sama. Dip."
"Hm."
"Welcome back."
Bersambung,
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.