Yuhuuuu ... tetap setia membaca ya sampai akhir 😁 Maaf lama upnya, lagi ribettt sama real life.
_____________Dipa merasakan ada yang aneh tak seperti biasanya. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ia terus berpikir, tangannya diletakkan ke atas dahi. Mencoba mengingat semuanya.
Akhirnya Dipa sadar apa yang berbeda, ada Leta di rumahnya, tidur satu kamar dengannya walau tak satu ranjang. Lalu ingatan beralih saat dirinya memuji kecantikan Leta saat wanita itu tertidur pulas.
Ia tersenyum dengan mata terpejam, saat sadar jika tindakannya jelas mewakilkan apa yang sedang menghinggapi hati.
Dipa beranjak, duduk bersandar pada sofa yang menjadi ranjangnya. Kepalanya menoleh ke ranjang utama, tak ada Leta. Segera Dipa beranjak, takut kalau Leta mendadak pergi sebelum pagi.
Selesai melakukan kegiatan di kamar mandi, Dipa keluar kamar. Ia dapati Leta menata meja makan. Ada dua cangkir kopi, lalu dua piring sarapan yang saat Dipa lihat setelah menuju meja makan, dua nasi goreng dan tiga telur ceplok di piring terpisah.
"Pagi, Pak?" sapa Leta sambil bolak balik meraih gelas untuk diisi air putih lalu menata piring berisi buah jeruk yang sebelumnya ada di kulkas ia letakkan di atas meja makan.
"Kamu masak?" Dipa menyeret kursi, segera meletakkan bokongnya di kursi.
"Iya. Sebagai ucapan terima kasih. Maaf kalau nggak izin." Leta menyusul duduk, ia bahkan menyiapkan sendok dan garpu untuk Dipa juga. Sungguh hal yang tak pernah Dipa rasakan bahkan saat masih menjadi suami Celin.
"Memar kamu berkurang nggak? Kalau masih diolesin salep lagi." Dipa meneguk kopi buatan Leta.
"Berkurang, Pak." Leta duduk diam tak menikmati sarapannya. Ia menunggu Dipa mempersilakan, rasanya tak etis jika ia dengan santai makan duluan, ia tau adab.
"Kenapa diem, makan, Let." Dipa mulai menyendok makanan dengan tatapan tak mengarah ke Leta, tapi ke makanan di atas piringnya.
"Nunggu Pak Dipa mulai duluan makan," jawabnya polos. Dipa melirik lantas tersenyum tipis, ia mulai makan lalu disusul Leta.
Sarapan berdua di hari minggu yang cerah, suasana baru bagi keduanya juga. Di sela makan, Leta ingat mau bertanya sesuatu ke Dipa. Tentang anak-anak lelaki itu.
"Pak Dipa, anak-anak kenapa bisa santai dan tenang kalau ditanya tentang ... Mamanya. Maksud saya...." Leta diam, menunduk saat Dipa tampak tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan Leta. "M-maaf, Pak," lanjut Leta.
Dipa mendengkus, ia hentikan menikmati makanan sejenak. Ditatapnya Leta yang menjadi grogi karena urung menyuap makanan ke dalam mulut, justru dimainkan dengan sendok dan garpu.
"Apa di sekolah anak-anak saya dirundung karena masalah ini?"
Leta mengdongak, menatap tegas sambil menggelengkan kepala.
"Anak-anak saya akan saya jelaskan alasan sebenarnya kenapa Mamanya pergi tapi nanti. Mungkin Zano bisa paham, tapi Zena, saya nggak yakin dia mau mengerti dan tidak sedih." Dipa meneguk air putih sedikit sebelum lanjut bicara. "Mental anak saya tanggung jawab saya. Saya ajarkan mereka tidak usah peduli kalau banyak orang."
Dipa mengulang ucapannya seperti saat itu. Leta semakin paham, sebenarnya ia hanya memastikan juga meyakinkan diri. Ia khawatir karena mental anak-anak tidak bisa ditebak apalagi jika sudah di sekolah. Sebagai guru, ia tak hanya fokus ke beberapa murid, tapi semua anak didiknya, ia bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan mental mereka.
***
Hari berganti, Leta sibuk di sekolah karena akan mempersiapkan acara di sekolah. Selesai merapikan pekerjaannya ia tak langsung pulang, tetapi menuju ke ruang latihan tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomanceMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...