Markijut!
______
"Mas ...," panggil Leta di depan pintu kamar Dipa. Ia diam sejenak. "Aku pulang, ya, Mas," pamit leta lantas berjalan pergi meninggalkan rumah itu menggunakan ojek online yang sudah ia pesan. Di atas sepeda motor ojek online, Leta terus diam. Ia berpikir jika memang salah dirinya tidak bilang ke Dipa karena pergi dengan Dika.
Ke esokkan harinya, Leta kembali rapat di sekolah. Ia tidak menunjukkan sedang susah hati karena Dipa marah kepadanya. Semua tampak normal karena itulah Leta, bisa menyembunyikan masalah yang sedang dihadapi.
"Ta," panggil Dika berbisik saat mereka masih di ruang guru sedang menyusun materi pembelajaran di laptop masing-masing.
"Apa, Kak?" toleh Leta.
"Makan siang di luar, yuk!" ajaknya.
Leta segera menolak, ia tak mau nanti mendadak Dipa muncul dan bisa semakin marah. Leta mau saja memperkenalkan Dipa, tapi jika keadaannya Dipa tidak sedang marah. Pasalnya, Leta paham jika Dipa marah bisa seenaknya sendiri nanti. Bisa juga terjadi keributan yang tidak diinginkan Leta juga Dika.
"Aku makan di sini aja, Kak. Bu kepsek udah siapin juga," tolak Leta halus.
"Yah, padahal aku pingin cobain makanan di sekitar sini. Kemarin kayaknya ada soto Surabaya yang rame deket sini." Dika tetap mencoba mengajak Leta.
"Maaf, Kak. Lain kali aja. Aku juga sibuk banget nyusun materi ini." Leta nyengir, Dika manggut-manggut. Ia tak lagi memaksa Leta lantas kembali menegakkan duduknya mengarah ke laptop miliknya.
***
"Pa, Ibu Leta nggak ke rumah, ya?" Zano segera bertanya saat ia dan Zena tak lagi menginap di rumah oma opa.
"Nggak tau." Jawab Dipa seraya menghidangkan pudding buah untuk Zano.
"Udah mau masuk sekolah, Pa, lusa. Kenapa Ibu nggak ke sini? Ibu kan janji mau temenin beli peralatan sekolah baru?" lanjut Zano sambil meraih sendok untuk mulai makan pudding. Dipa menyeret kursi, ia duduk berseberangan dengan Zano.
"Kan ada Papa, kenapa harus bareng Ibu? Ibu sibuk, jadi guru nggak bisa liburan panjang kayak murid-muridnya."
Zano melirik sejenak, "nggak lagi berantem sama Papa?"
Dipa tercekat, ia menggelengkan kepala. "Papa nggak ke kamar Zena? Udah turun belum demamnya? Mau masuk sekolah malah sakit."
"Ini Papa mau ke kamar. Habisin pudingnya, sore kita ke toko buku belanja keperluan kalian." Dipa beranjak, melepaskan celemek dan diletakkan pada meja dapur lantas berjalan ke kamar Zena di lantai dua. Sejak dua hari lalu Zena memang demam naik turun. Sudah minum obat tapi demam lagi setelah reaksi obatnya hilang.
Dipa membuka pelan pintu kamar, ia melihat Zena masih terpejam sambil menyelimuti diri. Langkah kaki Dipa segera mendekat ke ranjang. Ia duduk perlahan di tepi.
"Zena," panggil Dipa lembut. Zena membuka mata perlahan. Bibir Zena pucat. Saat telapak tangan Dipa menyentuh kening dan wajah putrinya, kembali demam terasa.
"Makan pudding buah, ya. Terus minum obat lagi." Dipa mengusap kepala Zena pelan.
"Pusing, Pa," keluhnya.
"Kita ke dokter mau?" ajak Dipa.
"Nggak mau." Geleng Zena. "Dokter Irwan libur kalau hari minggu. Zena nggak mau dokter lain." Sejak Zena lahir, dokter anak yang menanganinya hanya Irwan yang juga teman SMA Dipa dulu. Zena nyaman dan tak mau dokter anak lain selain dokter Irwan.
"Badan kamu demam lagi, Nak. Udah dua hari, lho." Dipa kembali membujuk. "Besok udah sekolah."
Zena tetap tak mau, lantas memilih memejamkan kedua matanya lagi. Dipa tak bisa apa-apa selain menuruti, ia memang lemah jika anak-anaknya sudah sakit dan hanya mau berobat dengan dokter Irwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomantikMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...