"Jadi kamu pindah ke Jakarta waktu itu karena orang tua kamu dapat tempat dagang baru? Aku kira kamu pindah karena males terus direpotin aku." Leta tertawa pelan, ia dan Dika duduk di kantin sekolah yang tutup karena masih liburan.
"Ya enggak lah, Ta. Ngapain harus direpotin kamu. keluargaku tau kok masalah kamu apa. Malah Ibu waktu itu sedih harus ninggalin kamu. Pinginnya dibawa sekalian." Dika tersenyum. Mereka duduk berhadapan dengan meja putih kantin di tengahnya sebagai pemisah. "sekarang gimana? Masih tinggal di sana?"
"Nggak. Aku ngekos nggak jauh dari sini." Leta mendadak bingung, ia harus jujur menceritakan ayahnya yang sudah dipenjara atau tidak.
"Ayah kamu?" bisik Dika.
Leta mendongak, menatap Dika. "Di penjara."
"Hah, kok bisa. Kasus apa?"
Nah, untuk alasan ini Leta tak mau cerita. Ia hanya menjawab tidak tau. Ia lanjut cerita jika rumah di gang tak jauh dari stasiun di sana kosong beberapa waktu ini, tepatnya semenjak ayahnya di penjara.
"Kenapa di kosongin? Apa nggak sayang?"
"Sayang sebenernya, tapi mau gimana lagi. Aku nggak mau ke sana."
"Barang-barang kamu udah nggak ada di sana emangnya?"
"Masih ada, sih. Cuma ya kayaknya aku—"
"Aku temenin. Sekalian nostalgia sama lingkungan aku lahir dan masa kecilku di sana walau sebentar. Tetangga masih sama? Apa udah pindah juga?" Dika tampak semangat. Leta mendadak menjadi bimbang, di dalam hati ia mau ke sana karena itu rumah ibunya.
Ah, ya, soal orang tua Leta. Dipa akhirnya memundurkan rencana mengajak Leta ke Hongkong karena pertimbangan takut emosi Leta tidak stabil setelah mengetahui semuanya.
"Eh kita belum makan, aku ambil di ruang guru, ya. Tadi Bu Kepsek udah pesen makanan. Bentar ya, Kak." Leta segera pergi berjalan ke ruang guru. Sementara Dika tak henti tersenyum melihat Leta yang kini begitu cantik bahkan kelembutan dan keanggunannya tidak hilang. Dika mengulum senyum, memalingkan wajah karena tidak menyangka bisa bertemu sosok Leta yang dulu ia beri perhatian dan empati, kini menjadi guru yang baik di sekolah itu.
Leta kembali membawa dua kotak makanan berisi ayam penyet. "Makan, Kak." Leta menyerahkan satu kotak, Dika menerima. Dua botol air mineral juga dibawakan Leta.
"Nggak berubah ya, masih perhatian aja," tukas Dika seraya beranjak untuk cuci tangan di wastafel. Leta tertawa pelan lantas menyusul Dika.
"Nggak salah berbuat baik ke siapapun, kan, Kak?"
Dika menatap Leta dari cermin di depannya. "Nggak salah, sih. Eh, Ta, bisa temenin keliling Jakarta nggak setelah pulang dari sini. Udah lama banget aku nggak tau kondisi Jakarta."
"Emang jarang pulang ke sini? Betah banget di Jepang." Leta berjalan ke meja lagi, pun Dika.
"Setelah lulus kuliah aku emang langsung ke Jepang. Pingin aja ngerantau di sana. Bapak sama Ibu juga kasih izin."
Keduanya kembali duduk, sama-sama membuka kotak makan. "Terus, Bapak Ibu apa kabar? Tinggal di mana?"
"Masih di Jakarta. Di ruko yang sama. Lantai satu dijadiin toko, lantai dua sama tiga tempat tinggal."
Leta manggut-manggut.
"Nggak nyangka ya, Ta, anak dari pedagang agen sembako bisa kuliah dan kerja di Jepang. Sekarang jadi guru di sekolah sebagus ini."
"Itu namanya rejeki dan takdir. Pendidikan itu harus merata. Mau dari latar belakang keluarga kayak gimana, kalau memang anaknya serius mau belajar dan berujung merubah nasib sendiri juga keluarga ya jalanin, lah. Emang yang boleh sukses anak orang kaya doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomanceMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...