Dipikirin lagi

7.8K 550 6
                                    

Selamat membaca

Motor terparkir di garasi bengkel Juan, Rose mendekat, ia segera memeluk Zena yang kembali menangis. Punggung Zena diusap Rose sambil mengatakan kalimat yang berharap bisa membuat Zena tenang. Kejadian itu memang membuat gadis kecil itu sangat terkejut.

"Dipa, Zena gue bawa ke atas, ya, gue udah siapin makanan juga. Lo tenang aja," tukas Rose sambil menggandeng tangan keponakannya. Dipa mengangguk seraya memberikan kunci motor ke Juan. Tak terlihat Rino dan Bryan, mereka sudah kembali ke kantor lagi.

"Gimana? Masih hidup nggak tuh orang?" Juan sudah tau tempramen Dipa, apalagi kadang sikapnya sangat arogan.

"Masih. Hampir gue kelewat bikin dia sekarat di depan anak gue dan anaknya." Dipa berjalan ke arah showcase, ia mengambil minuman dingin dalam kaleng yang langsung ditenggak habis saking haus plus emosi. "Gue nggak habis pikir, apa yang diajarin orang tuanya ke tuh bocah sampai bisa pegang-pegang anak orang lain kayak gitu."

"Bisa aja didikannya udah bener tapi anaknya melenceng karena faktor lain, Dip. Lo jangan menghakimi sepihak."

"Bodo amat. Harus gue hakimi kalau urusannya nyenggol anak gue. Apalagi ini bukan anak gue yang mulai berulah, nggak bisa gue biarin." Dipa dan Juan duduk di dalam ruang kantor yang ada di bengkel. Ia menyandarkan tubuhnya lelah, kepala mendongak menatap langit ruangan. "Gue berasa gagal jadi seorang ayah, Ju, kecolongan gini."

Juan menghela napas panjang, "kata siapa lo gagal. Ini bukan kesengajaan lo juga dan diluar batas pengawasan lo. Pihak sekolah juga harus tanggung jawab dan mereka juga kecolongan. Yang penting Zena nggak apa-apa, dia kaget doang dan nanti kita semua sama-sama kasih pemahaman ke Zena supaya nggak trauma. Nanti jemput Zano?"

"Iya." Dipa menoleh ke arah Juan yang sedang menatapnya juga. "Zano mau ngehajar tuh bocah, ditahan sama guru-gurunya." Dipa tertawa pelan, disusul Juan yang sudah yakin buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

"Like father like son, lo nggak bisa salahin Zano kalau kelakuannya di masa depan sama kayak bokapnya," lirik dingin Juan yang justru mendapat acungan jempol Dipa.

Keduanya lanjut ngobrol, membahas hal lain yang bisa meredam emosi Dipa. Saat ia sedang asik membahas kegiatan touring akhir pekan nanti, mamanya menelpon. Sontak saja Dipa meringis sambil menggaruk pelipisnya.

"Halo, baginda ratu," jawabnya asal. Ia melirik Juan yang menahan senyuman.

"Heh! Anak ilang. Masih anggap punya Mama Papa nggak!" Langsung saja bentakan ia terima.

"Masih, dong. Kalau nggak anggap punya, nggak dapet warisan nanti."

"Astaga ini anak, Papa! Dipa anggap kita ada cuma karena warisan!" teriak mamanya. Dipa segera duduk tegak, kacau karena papanya berada di dekat sang mama.

"Dipa!" Suara galak dan tegas itu seketika membuat bulu kuduk Dipa berdiri sekujur tubuh.

"Pa," sapanya pelan.

"Mau dikutuk sekarang apa besok! Papa udah jengkel sama kelakuan kamu! Mama sampai stress kamu nggak ke rumah dan susah dihubungi. Mama ke rumah kamu tapi nggak ada orang. Kamu ke mana aja! Pakai ilmu menghilang seketika kalau orang tua datang ke rumah!" Omelan itu hanya membuat Dipa tersenyum tipis. Ia tak menjawab pertanyaan papanya. "Mau sampai kapan kamu begini!" lanjutlah omelannya.

"Sampai batas waktu yang tidak terbatas, Pa."

"Kalau ditanya jawabnya asal terus! Papa besok pulang. Awas kalau kamu menghindar dari kami. Papa minta Kakakmu pulang biar dia hajar kamu sekalian!"

Gawat. Jika kakak perempuannya pulang, habislah Dipa. Bisa terjadi pertikain tak berkesudahan hingga membuat ia lari kocar kacir.

"Nggak usah, Pa. Kakak sibuk di sana. Iya ... iya, Dipa nggak kabur-kaburan, deh. Papa apa kabar?"

Single Father (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang