Salah tingkah

5.2K 448 7
                                    

Suasana di kawasan puncak mampu membuat Leta tak bisa berkutik di dalam kamarnya. Keempat pria dewasa duduk sambil berbincang juga bercanda gurau sambil menikmati makanan yang dipesan Dipa tadi. Leta sendiri sudah makan, terasa kenyang tapi entah mengapa pikirannya melanglang buana akan apa yang akan terjadi dengannya bersama keempat pria di ruang tengah.

Dengan ragu Leta membuka knop pintu kamar, hari sudah berganti malam bahkan tadi ia sempat ketiduran, memang begitu lelah ia rasakan baik fisik juga batinnya.

Ia mengintip, saat itu juga bersamaan dengan sorot mata Dipa yang sedang tertuju kepadanya. Sial, Leta malah gugup menjurus ke salah tingkah ia saat hendak menutup pintu malah kaosnya tersangkut di pintu.

"Ya ampun! Letaaa...," gumamnya kesal. Mau tak mau ia kembali membuka pintu, berharap Dipa tidak menghampiri. Bukan Dipa jika tidak memberi kejutan, ia sudah berdiri menjulang di depan Leta yang meneguk ludahnya susah payah saat melihat kaki Dipa berada di depan pintu.

"Tangan Miss Leta kejepit pintu, nggak?"

Leta mendongak. "Nggak, Pak. Cuma kaos Bapak aja, tapi nggak sobek kok, Pak, jadi saya nggak perlu ganti rugi."

Dipa bersedekap, ia memakai kaos lengan panjang tapi pres body, bayangkan betapa kekar berototnya tubuh Dipa di hadapan Leta.

"Siapa yang minta ganti rugi. Saya bisa beli selusin, lebih bahkan sanggup." Oh, sombong, oke, Dipa mulai kumat tengilnya, atau ... kebarbarannya. Leta tersenyum tipis, ia paham watak orang kaya memang begitu.

"Saya ke kamar lagi, maaf saya tutup pintunya ya, Pak." Leta akan menutup pintu, namun ditahan lengan kanan Dipa.

"Nggak bosan di kamar. Kita berempat mau jalan-jalan keliling tempat ini, lumayan bersihin paru-paru dari polusi Ibu kota yang luar biasa buruk." Dipa mengajaknya jalan-jalan, boleh juga tapi apa Leta tak akan canggung. "hah! Kelamaan!" Dipa menarik pergelangan tangan Leta cepat-cepat. Bahkan hampir membuat Leta jatuh terjerembab karena kelakuan Dipa.

"Dip, santai, kasar amat." Rino menegur dengan suara tak jelas karena disudut bibirnya terjepit sebatang rokok yang baru ia nyalakan. Dipa melepaskan gandengan tangannya lalu tersenyum seraya membungkukkan tubuhnya supaya bisa menatap wajah Leta.

"Maaf ya, Miss Leta, kebiasaan main narik tangan Zena," cengirnya. Leta mengerjapkan mata seperti anak kecil, lalu ia sadar jika dihadapannya adalah wali muridnya.

"Bisa Pak Dipa nggak kagetin saya kayak gini. Saya wali kelas Zena dan anda wali muridnya, nggak seharusnya begini kalau bicara." Leta mendadak tegas, bahkan tak ada kegugupan sama sekali. Dipa menegakkan posisi tubuhnya, memasukkan kedua tangan ke saku celana training panjang warna hitam yang dikenakan.

"Oke." Dipa memutar tubuh, berjalan lebih dulu meninggalkan Leta dan ketiga sahabatnya.

Suara binatang malam mulai terdengar, lampu-lampu menyala terang mengelilingi kawasan hotel atau villa, apapun sang pemilik menyebutnya. Diam-diam Leta menyunggingkan senyuman, hal itu karena mendadak hatinya senang berada di tempat yang sangat sangat lama sudah tidak ia sambangi. Seingatnya, saat masih kuliah dulu sekitar tiga tahun lalu tapi ia pergi dengan teman satu jurusannya, bukan pergi sendiri sehingga bisa meresapi ketenangan suasana di sana.

"Leta mau makan lagi? Kayaknya di sana ada penjual jagung bakar sama bakso, biar hangat badannya." Juan menawarkan Leta jajan.

"Kalau mau hangat, tuh, duda barbar nganggur, kalia aja butuh dihangatin juga," celetuk Rino yang sudah merasakan memiliki istri juga anak, jadi paham bagaimana cara menggoda sahabatnya.

"Duda barbar, lo pikir gue nggak punya adab." Dipa berceloteh. Ia menatap langit malam saat mereka berhenti di depan pintu masuk hotel. Langit cerah, tidak mendung yang akan turun hujan. Ia menghirup udara dingin dengan mata terpejam. Ia suka daerah dingin, dari pada laut, pilihannya ya gunung.

Single Father (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang