Markijut!
Hujan reda pukul satu malam, Leta sudah gelisah karena jam enam pagi sudah harus di sekolah. Ia belum menyiapkan kelas karena orang tua akan datang ambil rapot.
"Mas, gimana ini?!" paniknya saat mereka bersiap pulang. Dipa merapatkan jaket yang dikenakan Leta.
"Tenang. Aku bisa ngebut," jawabnya santai.
"Jangan! Bahaya!" pekik Leta kesal.
"Ya terus gimana, kalau pelan-pelan nggak sampai-sampai kita, Leta." Gemas Dipa. Leta mendengkus, ia khawatir takut jalanan licin bisa membahayakan keduanya. Segera keduanya naik ke atas sepeda motor, Dipa meminta Leta memeluknya erat. Jalanan cukup licin, belum lagi berkabut tipis.
Dipa tancap gas, tak peduli Leta sesekali menegurnya karena terus ngebut. Ia eratkan pelukannya, Dipa tersenyum dibalik helm yang ia kenakan.
Sudah separuh jalan, Leta lega karena kini sudah ada di jalan raya biasa, sudah lolos dari turun gunung. "Leta, kita makan dulu, ya, aku lapar."
"Nggak! Aku harus bawa barang-barangku, Mas. Belum diberesin di kosan!" tolaknya.
"Ck. Tega amat. Aku masuk angin nanti. Tadi di sana makannya dikit. Kamu juga, kan?" sambung Dipa lagi. Leta pun mengalah, mereka berhenti di warung nasi goreng, perjalanan ke kosan Leta masih satu jam lagi.
Dalam kondisi waswas, Leta menikmati makannya. Sedangkan Dipa terlihat santai seperti tak ikut khawatir.
"Mau beli cemilan, nggak?"
"Nggak. Mas ayo ... aku belum siapin baju juga buat nanti."
"Iya, iya... ya ampun, calon Nyonya Dipa bawel juga ya lama-lama." Dipa beranjak, membayar makanan lalu kembali ke motornya terparkir. Kendala datang, Dipa bengong saat melihat bensin motornya kosong. Ia meringis lantas menoleh ke Leta.
"Kenapa?"
"Bensinnya kosong, aku lupa tadi mau isi."
"Terus?!" pelotot Leta.
"Kita beli dulu." Enteng sekali jawaban Dipa. Leta mengedar pandangan, ia tak melihat pombensin di sekitar sana.
"Nggak ada pombensin, Mas," lirihnya sudah menahan kesal. Dipa baru sadar, lantas ia coba menghidupkan motornya, tak bisa. Setelah di cek, benar saja bensinnya hampir kering. Leta kesal bukan main tapi hanya bisa diam sambil memberengut.
Kini, keduanya berjalan sambil mendorong motor besar itu, di waktu dini hari. Leta terus saja diam, ia bukannya ngambek, tapi semua diluar rencana dan ia harus berpikir nanti sesampainya di kosan apa saja yang harus disiapkan lebih dulu.
"Leta, diem aja," tukas Dipa memecah keheningan mereka berdua.
"Lagi mikir, Mas."
"Mikir apa? jangan mikirin aku, nggak masalah dorong motor gede ini, kok. Kamu malu ya?" Dipa menoleh ke belakang. Leta menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. Dipa masih bisa tersenyum lebar padahal Leta sudah uring-uringan.
Akhirnya terlihat pombensin, Leta bersyukur ia bisa tersenyum. Namun tak lama karena jam menunjukkan angka tiga.
"Mas cepetan ayo dorong, udah jam tiga," cicitnya kesal.
"Iya Leta, iya." Dipa mempercepat langkahnya, tetapi ia tersandung dan jatuh. Motor besar itu menimpa dirinya. Leta teriak, tak lama orang-orang yang nongkrong di warung kopi keluar menolong Dipa.
"Mas Dipa!" Leta membantu membangunkan Dipa. Lelaki itu meringis, terlihat memegang kakinya.
"Aduh, Pak, lumayan ketimpa motor mahal gini," tukas salah satu bapak yang menolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
RomanceMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...