"Tuhan menciptakan manusia dengan sifat buruk yang juga masih ada sisa kebaikan di dalamnya. Tetapi tidak dengan dia ... Ayahku."
- Leta -Leta sudah mandi dan berpakaian. Ia dipinjami kaos juga celana training milik Dipa. Perlahan jemari lentik Leta membuka gagang pintu. Ia bisa melihat Dipa sedang membuatkan sesuatu untuknya di dapur.
Asap dari teko elektrik muncul di udara walau samar, dengan pelan Leta kembali menutup pintu kamar. Dipa menoleh, tak tersenyum lantas kembali fokus pada piring di hadapannya.
Ia membuat fetucini dengan saus keju dan irisan jamur juga daging ayam panggang. Tangannya terampil menata makanan di atas piring hitam supaya cantik.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Dipa?" Suara pelan Leta hanya mendapat atensi Dipa dengan menggelengkan kepala.
"Duduk aja di sofa, atau meja makan, terserah kamu." Dipa beralih ke teko elektrik, ia tuang ke mug warna putih yang sudah ia isi dengan bubuk kopi instan rasa mocalatte. Satu mug lainnya ia isi kopi luwak, untuk dirinya.
Leta masih berdiri di sisi Dipa, enggan beranjak sekedar menuruti perintah tuan rumah.
"Segar udah mandi?" Dipa mengaduk kopi. Leta mengangguk samar tapi Dipa bisa lihat dari ekor matanya yang bak elang.
"Terima kasih," cicit Leta seraya meremas kedua jemari tangannya yang saling bertaut. Dipa mengangguk lagi. Ia membawa dua piring tapi menoleh ke arah Leta dulu.
"Makan di teras samping aja kayaknya lebih nyaman," tukasnya. Ide itu diterima Leta, ia membawa dua mug mengikuti langkah Dipa.
Keduanya duduk di kurasi rotan sintetis bercat putih bantalan busa dengan sarung jok warna coklat muda. Keduanya duduk bersisian, tak risih padahal sebelumnya Leta cukup menjaga jarak dengan Dipa.
"Leta."
"Ya?" tolehnya.
"Saya panggil kamu Leta aja mulai sekarang, nggak perlu pakai Miss, nggak masalah, kan?" Dipa mau mencairkan suasana, Leta mengangguk. Ia juga tak masalah, apalagi diluar jam mengajar. Rasanya terlalu formal setelah adegan pelukan tadi, membuatkan berpikir jika ... siapa tau Dipa bisa menjadi teman yang baik dibalik sisi kasarnya.
"Ayo di makan, masakan saya nggak kalah enak dari chef terkenal." Dipa membanggakan diri, ia memang sudah terlatih memasak sendiri semenjak remaja. Apalagi saat SMA ia sekolah di luar negeri, lalu lanjut S1 di Singapura dan S2 di Seattle. Ia paham hidup mandiri walau tajir melintir tapi tak dimanja sama sekali oleh kedua orang tuanya.
Leta memutar garpu, memelintir fetucini sebelum ia masukan ke dalam mulut. Rambut panjangnya membuat Dipa risih, ia spontan menyatukan seluruh rambut panjang Leta ke belakang tengkuk wanita itu dengan tangannya. Leta menoleh, kaget dengan tindakan Dipa.
"Makan, kenapa lihatin saya."
Leta kembali menunduk, ia makan dan mengunyah pelan.
"Saya kuncir dulu, Pak Dipa boleh lepasin tangannya dari rambut saya," pinta Leta yang segera dilakukan Dipa. Namun Leta bingung, tak bawa kunciran atau jepit rambut.
Ia menggigit bibir bawahnya kebingungan. Dipa berdecak, ia memutar tubuh Leta supaya memunggunginya lantas menyatukan rambut Leta dan ia cepol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father (✔)
Roman d'amourMenjadi duda diusia muda siapa laki-laki yang mau. Tak hanya itu, ia bersama dua anaknya yang masih butuh figur orang tua lengkap tetapi tak bisa ia wujudkan. Pradipa Hirawan harus memerankan dua sosok demi anak-anaknya. Sayang, kelakuan absurd yan...