Satu

7.1K 236 3
                                    

Rahila

Jalanan Jakarta lumayan lengang pagi ini. Dengan diantar kedua orang tuaku, kami menuju Bandara Soekarno Hatta karena penerbanganku jam satu siang ini.

"Ra, mau Mama kenalin sama Bayu? Anak kenalannya papa, sekarang kerja di konsulat Malaysia. Mana tau kamu bisa ketemuan gitu, temenan dulu aja." Saran mama pelan, seolah tidak ingin menyinggung perasaanku.

Aku bersedekap, bukan karena kedinginan tapi menahan marah dengan topik yang satu itu, "belum mau, Ma."

Ya, aku sudah berusia 31 tahun. Orang-orang di sekitarku nggak bisa melihat ada perempuan single di umur segitu. Oops, bukan single, tapi menjanda tepatnya.

Awalnya kupikir, dua tahun cukup untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, di tahun ketiga aku masih saja susah untuk membuka diri.

Seharusnya, aku tidak membiarkan diriku jatuh begitu lama sampai-sampai lupa caranya berdiri. Butuh kekuatan besar untuk bisa melangkah lagi setelah gagal dalam berumah tangga.

Entah apa yang aku takutkan. Pernikahan ataukah hidup bersama orang yang salah selama sisa usiaku?

"Hati-hati ya, Ra. Kalau udah sampai KL telfon." Pesan Papa ketika melihatku sudah selesai check in.

Aku memeluk mereka, "iya, Ma, Pa, jaga kesehatan. Salam buat Abrar, udah aku bilangin supaya dia jangan keluar malem nggak jelas, mending jagain orang tuanya."

Papa tertawa pelan, "susah ngasih taunya, untung kamu balik dan ngomong ke dia."

Mama menyela lalu ngomel, "udah terlambat juga, masih aja ngobrol. Imigrasi lama, gate jauh."

Aku salim kepada mereka, "oke, Rara masuk ya. Dah, assalamu'alaikum."

Sebenarnya aku laper banget, belum makan dari pagi. Melihat jam di tangan, masih sempat lah ke A&W dulu untuk takeaway. Airplane meal enak, tapi lagi pengin ayam aromanya A&W ini.

Setelah selesai, aku bergegas ke imigrasi yang antrinya ya Rabb, panjang banget. Bener omongan mama, harusnya tadi cepet-cepet antri nggak usah pakai acara beli makan segala.

Entah kenapa aku selalu panik kalau tiba waktunya imigrasi dan pengecekan. Takut ada yang salah atau ketinggalan di rumah. Padahal sudah sering bolak-balik naik pesawat ke luar negeri.

Kayak hari ini, aku malah pakai blazer hitam, camisole putih dan jeans biru. Lupa kalau di bagian pengecekan harus dilepas, terpaksa aku bilang ke petugasnya, "maaf daleman saya lengan pendek."

Bukan lengan pendek lagi, tapi ketekan alias you can see. Untung aja selalu ada petugas bandara perempuan. Sejujurnya, aku tetep aja malu, hello, di pegang-pegang di tempat umum siapa juga yang nggak malu?

Aku berjalan setengah berlari menuju gate, walaupun nggak akan menunggu juga karena udah telat banget. Kayaknya udah boarding deh?

"Ya udah kalau birokrasinya ribet, cari orang Indonesia yang udah ada visa kerja di Malaysia, jangan yang masih di Indonesia ya." kataku kepada Tissa, ia adalah Team Leader untuk para pegawai yang berkebangsaan Indonesia.

"Oke, Bu Rara. Anda di mana sekarang?"

Duh jauh banget sih ini boarding gate, aku nggak sampe-sampe. Batin gue.

"Masih di bandara Soetta. Besok kumpulin team leader, quality analyst sama junior analyst, mau ada meeting dan promosi," aku baru ingat, "eh jangan besok, sore ini aja. Jangan ada yang pulang sebelum gue dateng. Gue landing jam 2 dan mungkin sampai kantor setengah 4."

"Katanya tahun ini nggak bakal ada promosi dulu, Bu?"

"Si Fuad nge-hire banyak junior, kata dia tim kita akan semakin besar sekarang. Oh iya selain promosi juga ada posisi trainer."

"Kita butuh trainer lagi, Bu?"

"Untuk project baru. Rencana gue sama Fuad sekarang pengin setiap trainer fokus sama project dan juniornya masing-masing." Balasku.

Huah, sampai juga di gate.

"Selamat siang Ibu, boarding passnya?" Tanya ground handling bandara.

Aku memberikan passport yang didalamnya sudah terselip boarding pass. Setelah dicek, "terima kasih, Ibu."

Aku melemparkan senyum kepadanya, lalu melanjutkan panggilan dengan Tissa, "gue tutup dulu ya, Tis, ini udah di pesawat."

"Eh tunggu, Ibu beneran nggak mau dijemput?"

"Nggak usah, makasih ya, Tis. Bye."

Hah, adem, AC pesawat sudah menyambutku.

Kalau di pesawat, paling senang duduk dekat pintu keluar darurat karena bagian kakinya luas. Aku simpan koper XS di bagasi di atas kepala, tote bag Marc Jacobs size besar aku letakkan di depan kaki dan laptop di pangkuanku karena ada kerjaan yang harus diselesaikan.

Tiga tahun terakhir aku bolak-balik Kuala Lumpur - Jakarta selama empat kali dalam setahun. Bukan untuk business trip tapi untuk menghabiskan cuti karena aku memang seorang expat dan tinggal di Kuala Lumpur.

Aku menerima pekerjaan tersebut ketika berusia 28 tahun dan sebulan sebelum pandemi menyerang dunia.

Perdana Menteri Malaysia ketika itu memutuskan untuk melakukan lock down, aku pikir tahun pertama akan sangat menyedihkan untuk memimpin sebuah team hanya melalui video call, tapi aku salah. Semuanya manageable dan harus ada effort lebih.

Setelah sabuk pengaman boleh dilepas, aku menurunkan penutup jendela dan langsung membuka Excel Sheet untuk menganalisa KPI (Key Performance Indicators) setiap tim.

Not good. Huh, gimana sih ini kerja Team Leader? Masa harus diomelin mulu baru bisa mengatur bawahannya dengan benar?

Emosi yang datang tiba-tiba menambah rasa sakit di kepalaku yang sudah menghampiri sejak kemarin malam, persendianku juga mulai terasa ngilu dan kayaknya darah rendahku kambuh lagi.

Memang, selama liburan aku nggak nafsu makan padahal hampir setiap hari diajak jalan-jalan oleh teman dan keluarga.

Pramugari mulai menyajikan makanan dan minuman, aku memesan mineral water. Jadi teringat pesan papa selama belasan tahun setiap kali naik pesawat, "jangan minum orange juice di pesawat, nanti diare."

Sekarang saatnya makan fast food yang aku takeaway tadi sambil lanjut kerja.

"Mbak, emang boleh ya bawa makanan dari luar?" Tanya orang di kursi sebelah.

Aku menoleh dan tersenyum ramah, "boleh, Bu."

"Oh saya pikir nggak boleh."

Banyak orang yang masih takut membawa makanan dari luar. Setauku yang nggak boleh itu cairan, kayak minuman. Pernah ada yang bilang cairan kayak perfume juga nggak boleh. Ya aku kan modal nekat, kubawa aja di tas yang 30ml, syukurnya aman, nggak disita.

Aku menyudahi makanku, menutup laptop, dan berjalan di lorong pesawat hendak ke toilet untuk mencuci tangan.

Baru beberapa langkah, oh my God, kok lemes dan kayak berputar semuanya. Aku mencoba menjangkau kursi yang berada di depan untuk berpegangan, penglihatanku sedikit buram, perut terasa mual, kupingku berdengung dan keringet dingin mulai terasa di sekujur tubuhku.

Tiba-tiba, bruk!

***

Hai para pembaca, gimana chapter satunya?

Jangan lupa vote, comment dan share. Makasih!

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang