Rahila
Mungkin benar kata Papa, aku harus terus diingatkan untuk menikah supaya tidak keasyikan sendiri. Ketika menyaksikan akad nikah Selvi dan Dion pagi tadi, aku memanjatkan doa.
Mama pernah bilang, malaikat datang menyaksikan bersatunya dua insan. Aku juga tidak tau kenapa tiba-tiba ingin mendoakan diri ini agar dimudahkan bertemu dengan pria yang memang berjodoh denganku.
"Kak, lo cepet banget udah siap?" Abrar keluar dari kamar mandi.
Aku pikir, kami akan tinggal di rumah Ibu selama rangkaian acara pernikahan Selvi. Nggak taunya, Ayah dan Ibu juga membukakan kami kamar di Hotel Sultan.
Aku menoleh, "elo yang lama di kamar mandi." Ujarku jengkel.
"Hehehe, maklum anak kos nggak ada bathtub sama water heater." Jawabnya sambil mengancingkan kemeja.
Acara resepsi Selvi bergaya internasional, jadi aku dan Abrar memilih warna hitam. Mau acara resepsi siang ataupun sore, aku akan tetap pakai warna hitam karena.. Elegan aja gitu.
"Gue bingung, hubungan lo ama Zidan tuh apa ya? Kok masih banget kita harus hadir di acara keluarganya gini?" Tanya Abrar yang sekarang sedang memakai sepatu pantofel.
Aku mengernyitkan jidat, "lo pikir gue nggak bingung selama seminggu jalan-jalan bareng keluarganya di KL?"
Abrar terbahak, "kayaknya lo bakal terikat sama keluarganya deh?"
"Emang." Jawabku pendek.
"Lo tau gue kan, gue nggak peduli sama kisah cinta lo walaupun kita Kakak Adik." Abrar berjalan mendekat ke ranjangku. "Tapi Zidan tuh, bagi gue lah, nggak buruk-buruk banget sampai harus diceraikan."
Aku memasang muka malas, kesal dan bete. "Udah deh. Nggak penting ngomongin ini."
"Emang nggak penting. Cuma dulu tuh gue bingung, kenapa lo cerai padahal Papa suka banget sama Zidan." Abrar menerawang keluar jendela. "Gue juga masih terlalu muda untuk paham urusan rumah tangga."
"Terus? Sekarang udah paham?" Aku menanggapi ucapannya.
"Hahaha nggak gitu. Di satu sisi, gue masih sedikit bingung, tapi di sisi lain gue paham kenapa kalian cerai walaupun Zidan hampir mendekati sempurna."
Aku masih mengganti channel TV, "apa jawabannya?"
"Hmm, gimana ya?" Abrar memasang muka berpikir. "Walaupun lo dan dia cerai, bagi gue, dia itu memang dilahirkan untuk menjadi seorang dokter. Berdedikasi, bertanggung jawab dan haus akan ilmu. Bukan elo dinomor duakan, tapi it's his calling, paham nggak? Itu panggilan dirinya untuk jadi dokter yang sebagian besar hidupnya akan berada di rumah sakit, menolong orang lain."
"Terus? Intinya lo mau ngomong apaan? Belum sampe ke intinya nih." Aku menggenggam remote TV erat menahan marah. Kok seakan-akan perceraian kita ini salah gue karena kurang memahami profesinya? Emang sepenting itu si Zidan untuk dimaklumi? Batinku kesal.
Kini aku dan Abrar saling menatap tajam. "Gue baca ucapan 'Terima Kasih' di tesis spesialisnya Zidan tadi pagi. All of sudden, everything made perfect sense."
Abrar melanjutkan, "jujur, gue nggak tau masalah rumah tangga lo kecuali lo dan Zidan sendiri. Tapi, bisa nggak sih lo denger penjelasan dia?"
"Lo disuruh sama dia ngomong gini?" Tuduhku.
"Enggak, gila!" Abrar mengelak. "Cuma sebagai laki-laki, gue tau rasanya disalahin terus-terusan sama perempuan."
Aku memilih tidak menjawab. Ini bukan putus cinta seperti muda mudi yang dimabuk asmara, tapi ini perceraian. Aku nggak suka membahas alasan di balik perceraianku dengan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati
RomanceRahila Syahin adalah seorang Trust and Safety Manager di Asenta, Malaysia. Selain kerja kantoran, ia juga sedang melanjutkan studinya di Universiti Malaya jurusan South East Asian Studies. Pada ketinggian 36.000 kaki, di penerbangan GA 874 tujuan Ja...