Zidan
Kami kembali ke rumah setelah sholat Ashar. Sus Indi aku suruh istirahat, biar Ayah dan aku yang menjaga Mama.
Sudah hampir empat tahun aku tidak mencicipi masakan Rara. Ada perasaan aneh menyelimutiku ketika ia begitu perhatian kepada Mama dan Ayah.
Memanggang kue adalah hobinya sedari dulu. Aku selalu menjadi kelinci percobaan karena hasilnya hampir selalu gagal. Tapi tidak dengan hari ini, cheesecake-nya enak.
"Udah lama ya, Ma nggak makan masakan Rara." Ucap Ayah ketika kami berkumpul di kamarku.
Aku dengar Mama menghela nafas dan mukanya berubah murung, "hmm, nggak ada yang berubah dari Rara. Masih selalu baik." Mama menatapku, "dulu Mama bilang, jangan pisah. Pertahankan, Dan. Eh kamu malah melepas dia dengan mudahnya."
Tipikal obrolan Mama dan Ayah setiap habis bertemu Rara.
"Kalian kalau ketemu selalu adu mulut begitu?" Tanya Ayah sambil memijit kaki Mama.
Aku mengangguk. Ayah kembali bercanda, "yah, susah dong menjodohkan kalian lagi."
"Oh jadi itu rencana kalian ke sini?" Tanyaku curiga.
"Lagian kamu jomblo. Rara juga. Butuh bukti apa lagi coba?" Ujar Ayah tersenyum
Aku menyandarkan badan di kursi kerja, "emang Ayah mau membuktikan apa?"
"Mau membuktikan kalau kalian masih bisa bersama." Jelas ayah dengan tegas.
Aku memalingkan muka, males meladeni obrolan ini.
"Nggak ada yang kamu suka di RS atau di Kampus?" Ayah mirip sama Kak Silmi, selalu ingin tau.
"Nggak ada, Yah." Jawabku pendek.
"Kata Silmi ada, dr. Mita atau Mila gitu, Dan namanya." Tanya ayah mengkonfirmasi padaku.
Bener kan, si tukang ikut campur pasti ngomong ke Ayah dan Mama. Aku mengangkat bahu, "nggak tau, Zidan juga lupa."
Ayah terbahak, "Zidan masih mau ya, Ma ke Rara." Ucap Ayah sambil mengedipkan matanya ke Mama.
"Mama juga masih mau sama Rara." Jawab Mama nggak mau kalah.
"Kenapa sih kalian ini?" Aku menggelengkan kepala. Bisa kulihat senyum sumringah mereka karena baru saja berlama-lama dengan mantan menantu kesayangannya.
"Kamu yang kenapa, tadi pake bantuin Rara segala di dapur. Kalau bukan masih sayang, terus apa?" Balas Ayah. "Itu kebiasaan kalian dari dulu. Rara yang masak. Terus kamu cuci piring, beresin dapur dan buang sampah."
Tiba-tiba Mama terisak, Ayah memijat pundak Mama untuk menenangkan, "kalian pisah itu karena egois aja. Kamu juga jangan ketus gitu ke dia bisa nggak?" Ayah masih melanjutkan.
"Nggak bisa, dia juga sama ketusnya ke aku." Aku memang nggak mau kalah.
"Biar, Ma. Biar tua sendirian dia di rumah, nggak ada istri, nggak punya anak." Ayah memanasi keadaan.
"Dah ah, Zidan mau ambil minum." Aku bangkit dari kursi dan menuju dapur.
Aku teringat ucapan Kak Silmi, "emang nggak bisa ya kalian temenan aja?"
Setelah sekian banyak sakit hati yang aku hadirkan di hidupnya, aku bahkan tidak pernah terpikir untuk dimaafkan. Tidak pernah terpikir untuk bisa makan semeja lagi dengannya.
Namun hidup mengantarkan langkah ini pada perjumpaan, entah di jalan, cafe favoritnya atau di ingatan kedua orang tuaku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati
RomanceRahila Syahin adalah seorang Trust and Safety Manager di Asenta, Malaysia. Selain kerja kantoran, ia juga sedang melanjutkan studinya di Universiti Malaya jurusan South East Asian Studies. Pada ketinggian 36.000 kaki, di penerbangan GA 874 tujuan Ja...