Tiga Puluh Sembilan

1K 76 3
                                    

Rahila

"Maksudku, aku jadi suami kamu lagi." Ujar Zidan

Walaupun sudah pernah menikah selama dua tahun, banyak hal yang Zidan baru ketahui tentangku akhir-akhir ini. Seperti Teh Poci yang sudah sejak dulu aku minum walaupun frekuensinya tidak sesering sekarang. Atau pagi ini sebelum berangkat camping, dia berkomentar,

"Kamu demam?" Tanyanya

Aku refleks memegang jidatku dengan buku tangan, "enggak, kenapa?"

"Bibir kamu pucet."

"Oh ini lipstik ombre gaya korea."

Padahal aku sering melakukan ombre lips dari sebelum menikah dengannya. Ini membuktikan bahwa dulu, mungkin, menikah hanyalah perihal status; yang penting aku mau sama dia dan dia mau sama aku. Entahlah.

"Kenapa elo mau lagi sama gue? Nggak takut hasilnya bakal sama aja? Gagal lagi?" Tanyaku.

Zidan terkejut mendengar pertanyaanku, "jangan mikir gagal dong, Ra." Dia menatapku serius, "aku memang nggak mau wanita lain."

Aku tertawa sinis, "lo nggak pernah memulai hubungan dengan orang yang baru?"

Zidan menggelengkan kepala. "Kamu sendiri juga nggak kan? Menurut kamu kenapa kita sama-sama masih sendiri?"

"Nggak tau." Jawabku singkat.

"Aku tau. Kita masih sama-sama terluka. Masih sama-sama menyimpan dendam. Dan mungkin, mungkin aja, masih sedikit berharap ke satu sama lain."

Aku menoleh, "elo pernah dendam sama gue?"

Zidan mengangguk, "aku nggak suka kalau kamu udah marah-marah dan ngomong kasar ke aku."

"Kan lo yang ngeselin?" Aku membela diri.

"Aku nggak nyangka, ketika kita bercerai, aku sempat berpikir pernikahan bukan untuk aku. Kamu tau kan aku orangnya textbook banget?" Zidan mendongak dan menunggu jawabanku. Aku mengangguk.

Ia melanjutkan, "itu juga hal yang kamu benci dari aku. Aku terlalu kaku. Setelah cerai aku baru sadar, pernikahan jelas berbeda dengan sekolah, nggak ada gurunya, nggak ada bukunya. Jujur aja, aku kewalahan menghadapi kamu, kuliah, karirku sendiri. Aku nggak pernah memvalidasi perasaan kamu."

Aku mengangguk mendengar pengakuannya, lalu menatapnya yang ternyata ia sedang menatapku, "betul. Dulu gue masih 25 tahun, selalu butuh validasi. Dan anehnya temen deket di Indonesia dua-duanya dokter, suami dokter pula. Dah lah makin nggak punya siapa-siapa."

Zidan tersenyum lembut lalu menunduk, "Mas Andi pernah nasihatin aku."

"Apa nasihatnya?"

"Dia menasehati aku setelah kita ketemu lagi di Mid Valley. Inget nggak?" Tanyanya

"Inget, yang elo rese banget waktu di Zara."

Zidan terkekeh, "kata Mas Andi, love itu kata kerja dalam bahasa Inggris, bukan kata sifat karena filosofinya adalah cinta akan tumbuh kalau kita kerja atau mau berusaha untuk orang yang dicintai." Ia kembali menatapku, "sebaliknya, cinta tanpa usaha akan sia-sia, karena cinta itu akan perlahan memudar. Menurut kamu benar nggak?"

"Benar." Jawabku pendek. "Di tahun kedua pernikahan kita, gue nggak bisa merasakan apa-apa lagi ke elo. Cuma ada amukan aja setiap ketemu."

Ini wajah sedih khas Zidan, dengan kepala yang sedikit miring ke kanan seperti Mark Wiens food vlogger Thailand ketika mencoba makanan enak. "Banyak yang harus aku perbaiki memang, Ra."

Kenapa muka Zidan menggemaskan? Aku ingin mencubit pipinya. Seharusnya ia nggak perlu merasa sedih kayak gitu. "Gue juga, banyak yang harus diperbaiki." Kataku.

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang