Dua Puluh Enam

1.1K 92 1
                                    

Rahila

Malam harinya kita makan di Restoran Kapitan yang terkenal dengan claypot biryaninya. Kami memesan itu, butter chicken dan plain naan. Aku hanya icip-icip aja karena nggak terbiasa makan banyak dari pagi sampai malam.

Zidan menceritakan bagaimana ujiannya siang tadi dan merasa lega karena sudah selesai. Dari kami masih menikah, aku sudah tau dia akan mengambil Epidemiology untuk S2-nya.

Ketika honeymoon di Phuket, kami terlebih dahulu ke Bangkok karena dia mendatangi konferensi tentang Epidemiology. Zidan juga pernah bilang kalau dia menyesal kenapa tidak mengambil S2 terlebih dulu baru Spesialis, tapi pada akhirnya dia bisa menggapai keduanya.

"Kalian aja sana berdua jalan-jalan, kami udah tua mau tidur lebih cepat." Ayah dengan sengaja meninggalkan aku dan Zidan di mobil setelah mengantar mereka kembali ke hotel.

Aku melihat jam, sekarang baru pukul 19:22.

"Ya udah, Yah Zidan mau ke Mall." Balasnya. "Yuk, Ra."

Ya kan gue nggak bisa nolak yaaa kalau di depan orang tuanya???? Batinku kesal.

Setelah berpamitan, aku duduk di kursi samping kemudi dan bertanya, "mau ngapain di mall?"

"Ngadem." Jawabnya enteng.

Aku menoleh, kok makin gila ya jawabannya? "Ya udah, jangan lama-lama."

"Kenapa? Takut Fuad marah? Mau video call sama dia malam ini?" Tebaknya.

"Apaan sih, kok jadi bawa-bawa Fuad gini? Kan gue bilang, nggak ada apa-apa sama Fuad, ya berarti nggak ada apa-apa!" Aku setengah berteriak.

Aku kembali melanjutkan. "Ngasih tau lo emang nggak bisa sekali dua kali, harus berkali-kali. Itupun nggak paham juga. Makanya gue cerai sama lo!"

Kami terdiam. Hanya terdengar suara mesin mobil, kendaraan yang berlalu lalang dan klakson yang saling bersautan karena ada kemacetan di depan sana. Aku menghitung setiap detik keheningan ini hingga akhirnya...

"Sorry." Ucapnya pendek.

Padahal aku sudah mempersiapkan kata-kata selanjutnya kalau dia berani ngebales omonganku. Tapi, di luar dugaan, dia minta maaf?

Kalau aku inget-inget, dua bulan terakhir, nggak ada kata maaf keluar dari mulutnya setiap kali kita bertengkar.

Dulu, aku hanya bilang sudah tidak sanggup menikah dengannya karena selalu diacuhkan. Sekarang, aku luahkan semuanya.

Pernikahan mengajarkanku bahwa aku tidak bisa berharap pada manusia. Aku tidak bisa mengubah sifat seseorang. Aku tidak bisa membuat seseorang memprioritaskanku.

Aku hanya bisa pergi ketika orang itu sudah tidak menginginkanku lagi. Dan itu yang aku lakukan. Pergi, menghilang sampai tidak ada lagi jejak yang tertinggal tentangku di hidupnya.

"Mau nge-dessert?" Tanya Zidan ketika kami sudah di lobby Gurney Paragon Mall.

"Boleh, lo mau apa?" Aku berhenti berjalan supaya kami bisa memutuskan sambil Googling.

Dia mengangkat bahu, "terserah kamu, aku nggak tau tempat ini."

"Ya udah, kita ke Salon Du Chocolat, ada waffle dan crepes." Saranku.

Zidan mengangguk, "oke."

Setelah keributan itu, kita nggak ngomong sama sekali di mobil. Untungnya, ini Penang yang ke mana-mana dekat dan cepat sampai karena, untuk pertama kalinya, aku merasa bersalah setelah meneriakinya dan ingin cepat turun dari mobil.

Hishhh males banget kenapa duduk di sebelah gue sih? Batinku. "Kita pesan satu berdua yuk?" Ucapnya sambil membalik menu, "tapi kok aku pengen semuanya ya? Menggiurkan banget."

"Iya kan, coklatnya banyak banget." Aku juga sibuk memilih, mau brownies atau crepes? "oke, crepes tipis ini ya, minumnya air mineral. Dah panggil mbaknya."

Zidan memang suka makanan dengan coklat yang tumpah-tumpah seperti ini, favoritnya adalah Saint Cinnamon Plaza Indonesia yang topping Hazelnut dan Tiramissu. Hah? Ngapain juga aku mengingat itu sekarang?

Dia membuka pembicaraan, "kamu pernah makan di sini?"

Aku mengangguk masih tetap scroll handphone, "di Penang, di KLCC juga ada."

"Di lantai 7 ada BookXcess, kamu pernah ke situ?" Tanyanya

"Pernah, lo mau cari buku?" Aku menoleh dan dia sedang menatapku. Shiz. Aku nggak suka kalau ditatap Zidan sedekat dan sedalam ini.

"Mau liat-liat dulu. Tempatnya juga bagus ya, banyak yang foto di situ." Ungkapnya

"Terakhir kali ke sana gue juga foto-foto doang sih hehe." Ujarku sambil terkekeh.

Dia tertawa kecil, "besok kita sarapan Roti Canai, terus ke Mural Art terakhir makan es cendol ya." Zidan menjabarkan rencana untuk besok, "oh iya aku dengar Nasi Kandar yang enak di Penang?"

"Iya, aku nggak suka nasi kandar di KL, bau ketek.."

Zidan ngakak, "kok bau ketek sih?" Dia memotong omonganku.

"Iya, kayak bau badan gitu loh." Jelasku, Zidan masih ngikik. "Makanya kalau di KL, aku makan nasi kandar cuma nasi sama lauk aja, tanpa kuah. Kalau di Penang baru bisa pakai kuah." Ujarku sambil menyuap crepes ke mulut.

"Yang enak di mana? Deen Maju aku baca di Google." Zidan minta saran.

Setiap aku melihat ke arahnya, kenapa dia sudah menatapku lebih dulu sih? "Aku suka yang Hameediyah, ada ruangan ber-ACnya."

Matanya beralih ke bibirku, dengan satu usapan, ibu jarinya mengelap coklat di bagian bawah bibirku.

"Sorry.." Dia terdiam.

Kenapa aku gugup begini? Aku mengambil tisu untuk mengelap bagian yang disentuhnya. Memang itu kebiasaan yang dilakukan Zidan kalau melihatku makan berantakan.

"Tadi kamu belepotan." Ucapnya.

Aku mengangguk dan menunduk mengiris crepes. Suasana menjadi canggung setelahnya, tapi Zidan seperti berusaha untuk terus mencari bahan obrolan dan mengabaikan apa yang terjadi.

Untuk pertama kalinya, setelah tiga tahun, aku melihat tawanya karena kita ngobrol, bukan karena candaan Ayah atau Ibu, tapi karena kita berbicara dengan kepala dingin, layaknya orang dewasa yang menurunkan egonya.

***

Hmm.. Udah main pegang-pegang aja si Zidan :D

Chapter 27, soon!

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang