Tiga Puluh

1.3K 102 3
                                    

Zidan

"Ra, ayo cuci tangan. Kita makan, sayang." Ujar Ibu ketika aku dan Rara baru sampai rumah.

"Rara naik dulu, Bu mau simpan koper di kamar." Jawabnya.

Ibu menggelengkan kepalanya, "minta tolong Pak Budi. Enak kan di sini ada yang bantuin?"

Rara tersenyum, "iya kebiasaan sendiri soalnya."

Aku menyela pembicaraan mereka, "biar Zidan aja, Bu. Pak Budi masih di garasi."

Rara membiarkanku membawa koper size XL dan tas laptop miliknya. Dia akan tidur di kamar tamu di seberang kamarku.

Sewaktu kami menikah dulu, ia membeli banyak kebutuhan kamar dan dapur untuk disimpan di rumah ini. Rara selalu berpikir, rumah adalah tempat beristirahat, warna dan suasananya harus sesuai dengan keinginan dia.

Sekarang, kamar tamu juga ditata sesuai keinginannya. Ia selalu suka kamarnya terlihat seperti di hotel dengan bed cover berwarna putih. Gak ketinggalan aroma lilin Mahogany Teakwood-nya Bath and Body Works. Walaupun aku nggak pernah setuju dengan lilin kayak gitu, takut kena kain dan kebakaran.

"Ra, malam ini kita beli kue ya di Exquise, Menteng. Sekalian makan di sana, tempatnya lucu gitu." Ajak Ibu ketika kami sudah berkumpul di meja makan. Ayah lagi pergi keluar dengan teman-temannya. Hanya ada aku, Rara dan Ibu.

"Boleh, Bu." Rara mengiyakan.

"Besok rencana kamu apa, Ra?" Tanya Ibu.

"Rara mau ketemu temen SD bareng sama Abrar juga." Jelasnya

"Jangan capek-capek ya. Kan Minggu acara akadnya Selvi." Ibu menasihati. "Kamu, Dan malam ini ke mana? Mau ikut kita?"

Aku teringat Chat dr. Mita,

From Dr. Mita
Mas, nanti malam aku dan dokter lainnya mau makan di Cork and Screw. Mau gabung?

"Zidan mau ketemu temen-temen dari RS. Deket dari Senayan, nanti Zidan jemput aja kalian." Aku melihat ke Ibu dan Rara bergantian.

"Ya udah, kita naik taksi aja, Ra." Ibu menyarankan.

From Zidan to dr. Mita
Oke, saya ke sana nanti.

***

Ibu pernah khawatir dengan pergaulanku, "dokter spesialis kanker kok ngerokok? Minum alkohol pula."

Nggak semua temenku, ada beberapa. Terus, minum alkohol juga udah jadi budaya mereka.

Bukan, aku nggak pernah ikut-ikutan. Aku cuma duduk dan ngobrol aja. Bagiku, bergaul itu perlu untuk melepas penat.

"Gimana, Dan Epidemiologi? Seru kan?" Tanya dr. Okto. Beliau adalah salah satu dokter yang menyarankanku untuk mengambil S2.

Aku tersenyum, "lumayan. Jadi lebih paham sama spesialisasi kita."

Ini yang aneh, aku lebih suka membahas ilmu kedokteran dengan diri sendiri dan orang yang baru aku temui dibanding dengan teman-teman yang bekerja di rumah sakit yang sama.

Dr. Okto menepuk pundakku pelan, "tahun depan ada Practice-Oriented Courses (POC) di Praha, London sama Sydney. Tertarik ikutan nggak?

Aku menggelengkan kepala, "mau balik kerja di RS dulu setahun, baru lanjut POC."

Dr. Dina nyeletuk, "kerja mulu. Nggak mau nikah lagi dok? Ini nih, dicariin dr. Mita, katanya kok nggak pernah update sosmed."

Otomatis yang lain pada berisik mendengar ucapan usil tersebut. Dr. Okto masih aja ganggu, "tuh Dan, ceweknya yang mau duluan. Enak, nggak usah sibuk mencari."

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang