Rahila
Biar kuberi tau, tidak ada yang baik-baik saja selepas keretakan itu. Aku sempat yakin akan mampu berpijak. Aku sempat yakin bahagia akan menetap. Tapi nyatanya, aku masih lupa bagaimana diri ini sebelum bertemu kamu.
Untukku, kamu pernah menjadi rumah; tidak berjarak dan penuh kehangatan. Kamu juga pernah menjadi tokoh utama di setiap naskah kehidupanku.
"Ra.. hello?" Panggil Fuad.
Hah! Aku melamun lagi, "ya, sori, tadi kamu bilang apa?"
Aku sekarang di mobil Fuad dan dia memaksa mengantarku untuk janji temu dengan Hana, Psikologku.
"Tadi aku bilang, cikgu mau ngadain field trip dan nanti minta saran kamu."
"Asiiik, biar ada pengalamannya untuk anak-anak."
"Iya, mereka nggak pernah merasakan belajar di alam itu kayak gimana.
Aku mengangguk setuju, "sponsor udah ada?"
"Udah untuk transport, tinggal cari katering sama tukang sablon."
"Oke, nanti aku bantuin. By the way, hari ini pada masak apaan di rumah asuh?"
"Standar aja, ayam masak lemak, daging kunyit sama lalapan."
"Hmm nggak sabar, udah laper."
Fuad menoleh dan tersenyum, "iya, ini kan udah jam makan malam kamu."
"Iya bener. Tapi demi ketemu psikolog, nggak masalah telat makan."
Fuad berdeham, "aku boleh nanya nggak?"
"Boleh. Mau nanya apa?"
"Sejak kapan kamu ke psikolog?"
"Setahun yang lalu."
Fuad mengangguk, "kalau lagi nggak mood, bilang ya, Ra. Daripada aku salah memperlakukan kamu."
Aku tertawa pelan, "aku selalu ngomong apa adanya kok."
"Eh iya juga sih. Aku tau hari ini kamu banyak pikiran, jadi aku maksa ikut."
"Makasih, Ad."
"Anytime, Ra."
Mobil terus melaju menuju KPJ Ampang Hospital. Jalanan hari ini ramai dan sedikit macet. Fuad menyalakan lagu Westlife selama kami berkendara.
Lima belas menit kemudian aku sudah duduk berhadapan dengan Hana, "jadi, kenapa baru dateng lagi?
Aku tertawa malu, "aku mau sembuh sendiri, tanpa harus melakukan pertemuan ini."
Hana menggelengkan kepala, nggak setuju dengan pernyataanku, "kamu masih di tahap penerimaan dan 'menemukan jati diri setelah bercerai,' jadi masih butuh bimbingan."
"Kayaknya enggak deh, Han. aku udah menemukan jati diri bahkan setelah bercerai. Masalahnya cuma satu, aku belum bisa terbuka sama lawan jenis."
Ia tertawa pelan, "ini yang aku maksud dengan butuh bimbingan. Kamu belum bisa menyeimbangkan siapa diri kamu di masa lalu dan masa sekarang. Siapa laki-laki yang dekat dengan kamu?"
"Temen kantor." Kataku, "Terus kemarin aku ketemu temen kuliah, eh mereka malah tanya tentang Mr. B, jadilah pagi ini, aku malah keinget Mr. B."
"Kamu nggak bisa melakukan semuanya dalam satu waktu; pengen membuka diri dan pengen melupakan Mr. B juga. Yang paling penting sekarang menerima keadaan, jangan ragu atau rendah diri."
Aku menyandarkan kepala, "benar. Aku mulai merasa nggak berharga setelah perceraian. Kayak nggak berhak dicintai seutuhnya."
"Kamu jangan fokus di status 'janda', Ra. Fokus di kelebihan kamu. Kalau kenalan sama laki-laki jangan bilang 'tapi aku janda.'"
Aku langsung duduk tegak mendengar ucapannya, "kok kamu bisa tau, Han? Itu yang aku ucapin ke temen kantor ini."
Hana tersenyum penuh arti, "kalau suatu hari nanti ada yang menolak kamu, jangan berpikir, 'oh dia nolak aku karena aku janda.' Jangan mikir gitu. Kalau dia nggak mau sama kamu, memang kamu bukan yang dia cari."
"Iya, cara berpikirku yang harus diubah."
"Contoh, ada orang yang nggak keterima kerja setelah wawancara. Padahal waktu pemeriksaan CV cocok-cocok aja. Perkenalan dengan lawan jenis juga seperti itu, ada tahapannya. Mereka memutuskan buka berdasarkan statusmu, tapi kualitasmu setelah mengenal lebih dekat, ok?"
Aku mengangguk lagi, "oke, Han."
"Saranku lainnya yaitu biarkan semua berjalan apa adanya. Kamu cuma perlu mengontrol yang bisa dikontrol seperti mental dan emosimu sendiri." Jelas Hana.
Aku hanya perlu mengendalikan apa yang bisa ku kendalikan. Penilaian orang lain tentangku sungguh di luar kuasaku sebagai manusia.
Traumaku memang tidak lantas sembuh, tapi aku akan terus mengupayakan hal-hal yang baik. Tidak perlu tergesa karena tujuannya bukan kemenangan, tapi ketenangan.
***
Jam 8:30 malam dan aku baru sampai rumah asuh. Mengajar anak-anak yang membutuhkan adalah salah satu cara agar aku terus bersyukur.
Enggak, aku tidak sedang membandingkan diri seperti, "alhamdulillah aku lebih beruntung."
Tapi aku lagi mengajarkan diriku untuk tidak sombong.
Hari ini cikgu Sarah memberi tau aku kalau anak-anak, siang tadi, belajar menyapu lantai. Aku terkejut, "memangnya mereka nggak tau caranya, cikgu?"
Lalu cikgu Sarah menjelaskan, "rumah mereka kecil, nggak ada lantai. Jadi nggak tau kalau ada istilah pekerjaan rumah yaitu menyapu dan mengepel."
Dari rumah asuh ini aku belajar, ternyata, ada thin line atau batas tipis antara orang kaya dan orang yang kurang mampu. Saking tipisnya, sampai tidak terlihat.
Jujur aku terkejut. Dulu, cita-citaku adalah menjadi Ashanty atau nggak Nagita Slavina yang memiliki ART lebih dari 3.
Biar aku nggak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Kayak bangga gitu kalau ada orang lain yang mengerjakan urusan rumah.
Tapi sekarang, yang kurang mampu pun nggak tau caranya nyapu dan ngepel. Jadi, apa yang mau dibanggakan?
"Ra, ayo balik." Ajak Fuad. Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam.
Kami pamit kepada semua cikgu yang berada di sana dan berterima kasih atas diskusi hangat dan makan malamnya.
Selama perjalanan pulang aku menceritakan perihal yang aku dengar dari cikgu Sarah tadi kepada Fuad dan dia setuju dengan pendapatku, "yang kamu bilang benar, Ra. Koruptor dan maling juga sama kan? Sama-sama pencuri. Cuma yang satu punya jabatan yang satunya enggak. Selalu ada hal yang berbeda sangat tipis sampai kita nggak menyadarinya."
"Subhanallah. Selama ini aku terlalu nyaman. Sampai kurang memperhatikan mereka yang membutuhkan bantuan kita."
Fuad tersenyum, "jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Ra. Tenang aja, Rumah Asuh Chow Kit akan berjuang untuk mendidik mereka."
Aku menoleh ke Fuad, "makasih ya, Ad udah memperkenalkan aku ke anak-anak dan para cikgu."
"Hehehe sering-sering datang ya, Ra. Kontribusi kita berarti banget buat mereka."
"In syaa Allah, Ad."
***
Whoaaa gimana chapter 10 nya? Rumit ya masalah hidup Rahila.
Chapter 11, soon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati
RomanceRahila Syahin adalah seorang Trust and Safety Manager di Asenta, Malaysia. Selain kerja kantoran, ia juga sedang melanjutkan studinya di Universiti Malaya jurusan South East Asian Studies. Pada ketinggian 36.000 kaki, di penerbangan GA 874 tujuan Ja...