Dua Puluh Sembilan

1.1K 91 3
                                    

Zidan

Banyak yang ingin aku bicarakan dan luruskan dengan Rara, namun sampai sekarang, aku belum berani. Dia harus diajak ngobrol ketika suasana hatinya bagus seperti liburan ke Penang waktu itu atau dua hari lalu ketika makan malam di Botanica.

Rara adalah perempuan tegas dan memiliki pendirian yang kuat. Dulu, dia pernah mengatakan, "aku orangnya pendendam, Zi. An eye for an eye."

Kurang lebih artinya, ketika dia mencari keadilan, dia akan menghukum orang yang menyinggung perasaannya.

Aku selalu tau apa arti perceraian kami untuk dirinya. Bukan hanya aku tidak memperhatikannya, tapi dia ingin membuatku merasakan apa yang dia rasakan: disingkirkan, diabaikan dan ditinggalkan.

Terlalu banyak kesalahan di dalam pernikahan kami sehingga, tidak hanya bercerai, Rara memilih untuk menghilang. Harus kuakui, caranya berhasil. Tidak hanya diselimuti kesedihan, aku hampir depresi.

Orang tuaku berpikir, mungkin kalau aku berkencan dan menikah lagi, aku akan merasa lebih baik. Untungnya, aku tidak mengikuti saran mereka. Aku harus berjumpa dengan Rara dan menyelesaikan masalah kami.

Tapi, kembali bersamanya atau tidak, itu bukan tujuanku. Aku hanya ingin dimaafkan olehnya. Aku tidak suka jika ada orang lain yang menyimpan dendam kepadaku.

"Oh gitu? Ya udah tolong bantuin Syafiq deh. Dia lagi di push terus sama Kumar, kasian."

Ujar Rara yang sedang video call dengan siapa lagi kalau bukan Fuad. "Oke, makasih, Fuad. Bye." Katanya mengakhiri.

Dia menyeruput caramel cold brew latte-nya lalu lanjut membuka Kyochon yang kami beli tadi ketika baru sampai. "Kok gue mau makan ini sekarang ya?" Dia sedang menoleh padaku.

Aku yang daritadi memperhatikannya langsung membuang muka dan pura-pura tidak lihat, "ya udah makan aja."

"Lo mau makan ini juga sekarang?" Tanyanya yang sudah memakai sarung tangan plastik dan siap untuk menyantap ayam Korea tersebut.

"Ya udah, gue mau coba." Sebenarnya ini bukan tipeku banget makan di ruang tunggu bandara, terlebih lagi makanan cepat saji. Tapi, aku selalu luluh sama tatapan matanya yang terlihat lugu.

Aku melirik laptopnya, ia menonton Netflix dan masih memakai headphone. "Ra.." Panggilku.

"Hmm, kenapa?" Masih sibuk menggerogoti tulang ayam dan fokus ke layar laptop.

"Aku seret, nggak ada minum. Mau beli minum. Kamu mau?"

Dia menggelengkan kepala, "aku minum kopi aja."

"Itu bukan minum." Ujarku kesal. "Ya udah aku beliin."

"Heheh, oke." Jawabnya terkekeh.

Baru aku mau bangkit dari tempat duduk

"Mas? Kamu mau balik ke Jakarta juga?" Aku menoleh ke perempuan yang baru datang dengan beberapa dokter dari rumah sakit kami yang aku juga kenal.

"Lah, dr. Zidan? Ketemu di sini, dok." Sapa dr. Adam.

"Mau ke mana, Mas?" Tanya dr. Mita

"Saya mau beli air mineral." Jawabku sambil menoleh ke Rara, dia masih sibuk makan ayam dan menonton.

Aku pamit pada mereka dan pergi membeli sebotol air mineral. Rumah sakitku menyuruh 2 dokter yang menjalankan PPDS dan 2 dokter spesialis kanker lainnya untuk mengikuti konferensi di Singapore dan Malaysia. Tadinya aku diajak, tapi menolak karena sibuk mempersiapkan riset untuk seminar proposal tesisku tahun depan.

"Nih, Ra minumnya." Kataku ketika kembali

"Dokter Zidan nggak sendiri?" Tanya dr. Adam

"Seperti yang kamu liat." Jawabku agak canggung. Males banget nih pasti jadi gossip. Batinku.

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang