Tiga Puluh Tiga

1.2K 114 3
                                    

Zidan

Abrar dan Rara check out lebih awal setelah sarapan, karena aku juga belum berkeluarga, jadi memutuskan untuk ikut dengan mereka. Kakak dan adikku masih asik menemani anak-anak mereka berenang, sama halnya dengan Ibu dan Ayah yang masih ingin berlama-lama di hotel bersama cucu-cucunya.

"Udah chat Rara?" Tanyaku pada Abrar. Baru saja aku selesai memasak steak medium rare untuk kami makan siang ini.

Abrar mendongak dari handphone, "pengen sendiri katanya."

Aku mengkhawatirkan Rara. Dia bilang kerap insomnia, sekarang ingin menyendiri? Jelas bukan Rara yang kukenal. "Dia sering begitu? Mengurung diri?"

"Kadang, kalau udah keseringan ketemu orang, dia butuh sendirian, paling dengan lilin-lilin yang nyala di kamar." Jelas Abrar.

Aku menggelengkan kepala, "gue benci sama kebiasaannya, takut kebakaran."

"Hahah kayaknya nggak bakalan. Udah ahli."

Aku bangun dari tempat duduk, "gue mau nganter steak ini ke kamarnya kali ya?"

"No. Jangan. Kalau dia bilang nggak mau ya nggak usah dipaksa." Abrar melarang.

Aku mengangguk paham, "tahun baru lo sendiri dong di Jakarta?"

Dia menggelengkan kepala, "gue sama Kak Rara mau ke Eropa."

Dengan susah payah aku menelan potongan daging, "balik lagi kan ke Indo?"

Abrar tertawa pelan dan menatapku, "kalian tuh kenapa gengsi banget sih?"

Aku mengernyitkan dahi mencoba memahami maksudnya, "gengsi apaan?"

"Kalian masih pengen tau kehidupan satu sama lain. Kak Rara cemburu sama siapa tuh dokter yang manggil elo Mas. Elo juga cemburu sama Fuad si brondong Melayu. Kelia.."

Aku memotong omongannya, "Fuad berondong?"

Abrar terbahak, "tuh kan! Lo malah salah fokus, iya, dia umurnya 28 atau 29 gitu, lupa."

Ia melanjutkan. "Dah lah, tahun baru lo mending gerak. Masalahnya Papa pensiun empat tahun lagi, terus pengen cucu, gue mulu yang disuruh nikah." Ucapnya dengan muka kesal dan mengiris daging tanpa perasaan.

Aku tersenyum mendengarnya, "bukannya dulu lo benci sama gue?"

"Gue nggak benci, cuma bingung dan nggak bisa berkata apa-apa setelah kalian cerai." Abrar meletakkan pisau dan garpunya dan menatapku, dengan tatapan kebencian? "Dia tuh waktu pacaran sering banget dibegoin sama cowok-cowok. Cuma, waktu kalian pisah, ya gue tau lo nggak nyakitin dia separah mantan-mantan pacarnya, jadi kebencian gue ke lo cuma 50%."

Abrar menambahkan, "enggak, dulu dia nggak bego dengan memilih lo untuk jadi suaminya."

Aku tertawa mendengarnya. Rara memang pernah cerita, dia selalu sial ketika kenalan atau pacaran dengan laki-laki. Makanya nggak pernah bertahan lebih dari 3 bulan. Baru ketika kenal denganku, hanya akulah yang dengan cepat mengajaknya menikah.

***

Rahila

Setelah pembicaraan sore kemarin dengan Zidan, aku ingin sekali menangis sampai tertidur. Tapi nggak bisa, karena di hotel aku sekamar dengan Abrar.

Hari ini, aku memilih menghindar darinya walaupun kutahu dia mencoba biasa saja dengan keberadaanku. Begitulah Zidan, selalu percaya diri dan menganggap semuanya nggak perlu diambil pusing.

"Ma, Rara sama Abrar beneran mau ke Rusia aja langsung ya, tanggal 29. Rara udah beli tiket." Ucapku melalui sambungan telefon.

"Yay! Gitu dong anak-anak Mama, kita liburan bareng." Mama terdengar sangat gembira. "Tolong bawain Sambal Bu Rudi 5 botol ya. Terus juga, Mama kok pengen bolen Kartika Sari sih tiba-tiba?"

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang