Dua Puluh Empat

1.1K 96 1
                                    

Rahila

"Gimana dong, Bu. Saya takut kalau harus handle team Indonesia sendirian." Lapor Tissa

"Kalian bakal ada manager baru, perempuan juga." Jelasku. "Wawancaranya besok, Ad?" Aku bertanya pada Fuad

Fuad mengangguk, "besok kalau kamu mau, aku atur jadwal video call sama dia."

"Heheh, thanks ya, maaf ngerepotin mulu." Jawabku.

"Ibu mau ke mana besok? Libur?" Tanya Tissa

"Yup, capek kerja mulu. Gaji segini doang." Candaku

Tissa dan Ibra langsung nengok, "Siapa yang bisa membuat Ibu libur pas lagi sibuk begini?" Ibra menatapku curiga.

Emang kalau awal, tengah dan akhir tahun, yang mana lagi sibuk-sibuknya, aku anti banget ambil cuti.

"Mantan mertuaku dateng, beliau ngajak liburan." Tissa dan Ibra menggelengkan kepala

"Sama dr. Zidan juga, Bu?" Tissa tentu aja kepo.

Aku mengangguk. Ibra nyeletuk, "Ibu bisa temenan sama mantan suami?"

"Enggak, tapi terpaksa. Orang tuanya nyariin dan kangen aku." Balasku.

Ibra terkekeh, "jadi pengen kepo, suaminya gimana sih bentukannya?"

Tissa dengan semangatnya memberi tau Ibra, "browsing, dr. Zidan Bakhtiar Sp.Onk. Rad(K) Rumah Sakit Kanker Indonesia."

Fuad menyela, "kamu mau liburan ke mana?"

"Penang aja, yang deket." Aku menjawab.

Ibra bersuara lagi, "Ckckck, nggak ngerti sih kenapa Ibu bisa cerai ama dia."

Aku melirik, Ibra sudah menemukan profil Zidan di Rumah Sakit.

"Berarti yang dulu diomongin sama suster-suster tuh ibu kali ya." Tissa mulai bergosip.

Aku mendongak kaget mendengar ucapan Tissa, "saya diomonginnya gimana?"

"Enggak diomongin banget sih, Bu." Tissa berusaha mengingat, "cuma, 'eh dr. Zidan duda sekarang.' Terus juga, 'hah istrinya yang waktu itu kan?' Gitu lah kurang lebih. Udah lama, saya agak lupa."

"Oh, aku pikir aku dijelek-jelekin." Kataku lega.

Tissa mukanya berubah serius, "Bu, kalau boleh jujur. Saya sama suami juga dulu penasaran, siapa istrinya dr. Zidan? Pasti ikhlas banget suaminya berlama-lama di rumah sakit. Apalagi masih PPDS kan, belum spesialis waktu itu. Lagi sibuk-sibuknya dan secara keuangan pasti belum bagus."

Kok mataku jadi panas mendengar ucapan Tissa? Aku benci dengan pekerjaan Zidan, tapi pasiennya justru penasaran siapa gerangan istrinya? Karena membiarkan suaminya mengejar mimpi dan bekerja sampai larut malam.

"Bu, jangan sedih begitu mukanya." Ujar Tissa menyadarkanku dari lamunan.

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum, "enggak kok, Tis. Siapa yang sedih?"

"Hehehe, kirain." Balas Tissa.

Aku teringat perkataan Zidan semalam, "emang nggak bisa temenan?"

Berteman sama dia? Buat apa? Emang ada yang masih berhubungan baik sama 'mantan' entah suami atau pacar?

***

Setelah mandi dan bersiap, aku packing untuk liburan. Nggak ketinggalan juga beres-beres rumah karena ayah mengatakan mau menginap di tempatku, biar besok ke bandara bareng.

Agak kaget, karena katanya si rese juga mau ikutan walaupun dia penerbangannya beda karena masih ada UAS di kampus. Erghh!

Sesuai rencana yang Ayah katakan, kita akan ketemuan di Botanica, restaurant di bawah apartmentku untuk makan malam. Aku sudah menunggu di Restoran karena Zidan bilang dia udah dekat.

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang