Dua Belas

1K 83 1
                                    

Rahila

Ya begitulah nasib orang yang udah bercerai, dikit-dikit inget kenangan sama mantan suami. Dikit-dikit hilang mood.

Lagian juga si Zidan, ngapain pakai ngungkit masa lalu sih? Aku ke Zara kan bukan berarti udah punya suami. Mau beli baju tertutup atau terbuka, nggak ada hubungannya sama statusku.

Dengan pasrah aku mengikuti keluarganya yang akan mentraktirku makanan Jepang. Kami berada di Rakuzen, The Gardens karena Jordan, anak Kak Silmi ingin sushi.

Aku duduk berhadapan dengan Kak Silmi dan Jordan duduk di sebelahku. Si nyebelin? Di paling ujung. Bagus deh.

"Iya, Ra rencananya perusahaan saya mau ada Trust and Safety Team selama ini kan cuma QC untuk perusahaan IT aja." Jelas Mas Andi, suami Kak Silmi.

Kak Silmi menambahkan, "makanya kita bakal stay di sini sampai Rabu. Kamu tinggal di daerah mana, Ra?"

"Bangsar, Kak." Jawabku pendek.

Kak Silmi terlihat semangat, "sama dong. Kita stay di Pullman Bangsar. Deket nggak?"

"Nggak deket-deket banget sih, naik taksi sepuluh menitan." Kataku sambil menyuap unagi ke mulut.

"Besok ketemuan yuk, Ra."

"Besok aku ada acara, Kak."

Mas Andi menyela, "udah jangan diganggu Raranya. Oh iya, Ra boleh tukeran kartu nama nggak? Mana tau saya butuh saran dari kamu terkait kerjaan."

"Boleh, Mas." Aku merogoh tas dan mengeluarkan business card-ku, "ini, Mas."

Mas Andi menerimanya dan membaca, "kamu di gedung Esquire? Saya ada meeting di lantai 10 hari Senin."

"Semoga sukses, Mas." Jawabku.

Selama makan siang aku lebih banyak mendengar apa yang mereka obrolin. Sesekali Mas Andi ngomongin kerjaan denganku.

Bersikap baik-baik aja dengan keluarga mantan suami itu susah, walaupun masalahku hanya dengan Zidan.

Kak Silmi ingin mengantarku pulang setelah selesai makan, tapi aku menolak. Memang adik kakak Bakhtiar ini nggak peka sama sekali kalau aku sudah tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan mereka.

Untungnya Mas Andi langsung menyela, "udah Ma, Rara pulang sendiri aja."

Sesampainya di rumah, aku langsung WhatsApp Fuad.

To Fuad
Maaf, aku nggak bisa dateng besok.

From Fuad to Rahila
Iya, nggak apa-apa, Ra.

Tau nggak apa yang paling bikin males dari depresi dan memiliki kecemasan berlebih? Pertama, aku paling sering menghindari sebuah pertemuan. Aku malas menjelaskan siapa diriku. Aku lebih suka bertemu dengan orang-orang yang sudah mengenal keadaanku.

Kedua, aku gampang sekali mengantuk. Tidak jarang, aku tidur di jam-jam biasanya aku nggak tidur. Yang terakhir, aku bisa berbaring di kasur selama dua jam dan tidak melakukan apa-apa.

Hana sempat menyarankanku pergi ke Psikiater, jelas beda dari Psikolog. Karena Psikiater adalah dokter spesialis kejiwaan yang bisa meresepkan obat. Benar saja, aku membutuhkan lebih banyak Vitamin D. Terlalu lama mengurung diri memang membuatku kekurangan paparan sinar matahari.

Tapi, when it comes down to depression, aku rasa setiap dari kita memang akan sembuh pada waktunya.

***

Zidan

Aku memutuskan diam sepanjang acara makan siang dadakan tersebut. Mungkin ucapanku ketika di Zara terlalu berlebihan kepadanya?

Di sisi lain, aku bersyukur mendengar cerita Rara selama di Malaysia dan perjalanan karirnya.

"Kamu ngomong apaan ke Rara?" Tanya Kak Silmi ketika kami sudah di mobil menuju pulang.

Duh, Kakak seolah bisa membaca pikiranku.

"Maksudnya?" Zidan berpura-pura bodoh.

Dia menoleh, "tadi di Zara, lo duluan kan yang liat Rara? Lo masih ngajak dia ribut?"

Aku memandang keluar jendela sambil terus mendengarkan Kak Silmi melanjutkan ocehannya, "makanya dia nggak pernah ngehubungin kita lagi. Udah minta maaf lo sama dia?"

Mas Andi melerai, "Ma, udah. Kamu malah sekarang yang ngajak ribut Zidan. Udah lah."

"Nggak bisa, Mas." Kakak menoleh lagi, mukanya mengeras, "Kakak elo dua perempuan, Dan. Adik juga perempuan, Mama masih hidup, nggak cukup ya untuk kamu bisa menghormati perempuan?"

Kakak menghela nafas panjang, ia belum puas mengomel. "Kalau kamu ada rencana nikah lagi, lebih baik perbaiki sifat kamu yang dulu. Mempertahankan pernikahan itu susah. Kamu memang dokter yang hebat, tapi belum tentu bisa jadi suami yang hebat."

Semua perkataannya benar. Aku sudah sering mendengarnya di tahun-tahun awal perceraianku dengan Rahila. Mereka berharap, di kemudian haru, aku bisa becus membangun dan mengurus keluarga.

Aku tidak terlalu mengambil pusing. Setelah perceraianku dengan Rahila, hingga hari ini, semua orang seakan memusuhiku. Baru beberapa bulan terakhir saja Ayah mulai berbicara lagi denganku. Mungkin karena beliau kasihan melihat anak lelakinya yang semakin tidak memiliki teman dan keluarga yang mau mendukung.

Aku anak ketiga dari empat bersaudara, tiga saudara kandungku semuanya perempuan. Ketika itu, Rahila adalah menantu perempuan satu-satunya Ibu dan Ayah. Dengan mudahnya wanita itu menjadi favorit semua anggota keluargaku.

Selain sifatnya yang ramah, mudah berbaur dengan yang lain, Rahila memiliki pengalaman tinggal di berbagai belahan dunia.

"Tante Rara lahir di Madagaskar? Itu di mana?" Tanya keponakanku kepada dirinya 6 Tahun yang lalu.

Mantan mertuaku adalah seorang Atase dan selalu tinggal di luar negeri. Sejak Rara TK sampai SMP, dia tidak pernah bersekolah di Indonesia. Ketika akhirnya SMA, Papanya sedang bertugas di Romania, Rahila memilih bersekolah di Jakarta dan dipantau oleh tante dan omnya yang berdomisili di kota yang sama.

Bisa dibilang keluargaku dan Rahila sangat bertolak belakang. Saudara-saudara perempuanku selalu mengatakan Ayah adalah seorang patriarki karena beliau tidak mengizinkan anak-anak perempuannya kuliah dan mencari pengalaman di luar negeri. Bahkan tidak ada yang berani melanggar aturan beliau tersebut.

Jadi, memiliki Rahila dihidupku tentu hal yang baru. Terbiasa melihat kakak dan adik perempuan penurut, Rahila sering bertindak sesuai dengan keinginannya. Aku juga tidak punya banyak waktu untuk menasihati bahkan menyesuaikan diri tinggal serumah dengannya karena kesibukanku yang sedang Pendidikan Dokter Spesialis di kampus dan rumah sakit.

Ironinya, Rahila hanya memiliki aku dan keluargaku di Indonesia. Hidupnya jelas mengandalkan aku untuk beberapa hal, tapi aku tidak selalu ada untuknya. Malah sebaliknya, dia selalu berusaha ada di tahun pertama pernikahan kami hingga akhirnya di tahun kedua, semuanya perlahan menghilang; perhatiannya, senyumannya dan kehangatannya.

Tengah malam, tiga tahun yang lalu Rahila minta bercerai. Aku tidak heran karena, entah udah berapa kali dia mengatakan itu dengan penuh rasa marah.

Aku pikir, ucapannya di malam itu sama dengan malam-malam lainnya. Aku yang lelah luar biasa malas menanggapi ucapannya dan memilih untuk tidur.

Keesokan harinya, aku tidak pernah melihat wajah cantik itu lagi. Aku kira, okay dia akan kembali setelah merasa lebih baik. Nyatanya, kami bertemu kembali selama proses pendamaian dan persidangan.

Ck, buat apa aku memikirkan hal itu lagi sekarang? Toh dia sudah menikah dan bahagia dengan kehidupan barunya.

***

Chapter 13, soon!

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang