Rahila
Sudah jauh aku pergi untuk mengasingkan diri, tapi kenapa harus dia lagi? Laki-laki yang membuat hidupku penuh dengan tragedi.
Kemarahan itu masih aku jeritkan di hadapannya setiap kami mulai berbicara. Karena aku merasa menjadi korban keangkuhannya.
Bahkan hari, bulan dan tahun sudah berganti, rasa sakit dan kecewa tetap berada di relung paling sunyi.
Pernah aku berdoa di balik pintu kamar yang tertutup rapat, agar hidupnya hancur sama seperti dia yang sudah mengacaukan kehidupanku.
Aku benci karena tidak bisa menghapus perjalanan masa laluku. Aku benci karena luka yang kupikir sudah lama mengering, kini kembali terasa perih.
Perceraianku dan Zidan terjadi tiga tahun lalu, lebih tepatnya di malam pergantian tahun. Tau apa yang lebih ironis? Di malam tahun baru juga kami pertama bertemu.
***
6 Tahun Lalu
"Perkenalkan saya Omar, dokter muda atau biasa disebut Koas, saya akan menjahit jari telunjuk Ibu Rahila dan di samping kanan anda ada dr. Zidan, dokter jaga malam ini."
Aku tersenyum pada Omar lalu menoleh ke arah dokter yang bernama Zidan tersebut, memperhatikannya dari ujung kepala, enggak sampai ujung kaki karena takut ketahuan.
Rambutnya bersih tanpa gel, rahangnya tegas dan jambang tipis membingkai wajahnya. Dia mengenakan kemeja abu-abu, dasi hitam yang sedikit dilonggarkan, jas dokter berwarna putih dan celana bahan hitam.
Hmm kece juga gayanya, pikirku.
"Sudah selesai menilai saya dari ujung kepala sampai ujung kaki?" dr. Zidan tiba-tiba mengangkat kepala yang sedari tadi ditundukkan karena membaca sesuatu di lembar kertas.
Aku menatapnya dan tersenyum ramah, "sudah, dok."
Terdengar Omar menahan tawa karena jawabanku. Aku mengalihkan pandangan ke Omar, "berapa jahitan, Mar? Eh aku manggil kamu Omar aja kan? Belum boleh dipanggil dokter?"
"Iya, Bu panggil saya Omar aja. Kira-kira tujuh jahitan ya."
Aku memundurkan badan untuk bersandar di bantal, "oke. Panggil saya Rahila, jangan pakai Bu."
Masih menjahit jariku, Omar bertanya lagi, "namanya unik, artinya apa?"
Aku tertawa pelan, "agak menggelikan sih, ini gabungan nama orang tuaku, Ramzi, Hilda Selamanya."
Omar lagi-lagi menahan tawa tapi tidak dengan dr. Zidan, "kerja nggak pake ngobrol, Mar. Kalau salah gimana?"
"Maaf, dok." Omar mengangguk patuh.
Zzzt Zzzt
"Wa'alaikumsalam, gue di IGD RS lo nih." Jawabku
"Sumpah? Demi apa? Gue kaget pas lo ngirim foto berdarah-darah gitu." Ucap Nayla temanku yang sedang internship di Rumah Sakit Cipta Harapan.
"Pisau di apartment lo kenapa tajem banget, Nay? Di rumah gue gak setajam itu soalnya, apa itu pisau bedah? Hahaha."
"Kampret. Mana gue tau tajem atau nggak karena yang sering pakai si Andin. Ya udah gue ke IGD."
Klik!
"Jangan lupa didokumentasiin, Mar." Ujar dr. Zidan tiba-tiba.
"Baik, dok."
"Udah berapa pasien hari ini?" Tanyanya lagi
"Ini yang ke 15, Dok."
"Oke." dr. Zidan mengeluarkan handphone dan mengambil gambar jariku dengan muka yang tidak sekalipun tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati
RomantikRahila Syahin adalah seorang Trust and Safety Manager di Asenta, Malaysia. Selain kerja kantoran, ia juga sedang melanjutkan studinya di Universiti Malaya jurusan South East Asian Studies. Pada ketinggian 36.000 kaki, di penerbangan GA 874 tujuan Ja...