Delapan Belas

1.1K 73 1
                                    

Rahila

Lilin Bath and Body Works dengan wangi Mahogany Teakwood memenuhi kamar mandi. Hujan sangat deras di luar, tapi aku memilih untuk tetap mengisi penuh bathtub dengan air hangat dan berendam.

Aku sandarkan kepala dan mulai memejamkan mata. Minggu lalu waktu SPA dan massage, aku mikir, ini sih juga bisa dilakuin di rumah. Akhirnya aku mulai memiliki self-care routine seperti sekarang.

Sebenarnya aku juga sudah mempersiapkan buku yang akan dibaca, tapi aku batalkan niat tersebut karena rileks banget hanya dengan berdiam dan memejamkan mata seperti ini.

Dalam hidup ini, aku selalu merasa berjalan terlalu cepat; ingin semuanya dicapai dan diselesaikan. Aku tidak pernah ingat bahwa aku ini manusia, bukan robot. Bahkan robot aja bisa kehabisan baterai.

Udah dua minggu aku memantau trainee dan trainer di lantai 22. Syafiq, teman lamaku yang kini juga manager tidak terlalu banyak tingkah dan masih asik diajak kerja bareng. Malah dengan sukarela membantu menyiapkan meeting-ku.

Entah dia lagi cari muka apa enggak ke Kumar, aku nggak peduli. Malah, rasanya aku mau resign tahun depan karena mnenggelamkan diri dalam kesibukan juga nggak baik buat kesehatan mentalku.

Zzt.. zzzt

"Assalamu'alaikum, Ra. Akhir tahun kamu ke Jakarta?" Tanya Mama di seberang sana

"Nggak tau, Ma. Rara mau ke Rusia boleh nggak?"

Mama ngomel, "salam tu dijawab."

"Lagi di kamar mandi."

"Hah? Ngapain di kamar mandi bawa handphone?"

"Hahaha berendam. Ngilangin stress." Balasku. "Ma, Rara mau ke Rusia boleh nggak akhir tahun?"

"Papa ngajak ke Paris. Mau cobain croissant-nya Chef Cédric Grolet." Jelas mama.

"Chef Grolet baru buka di Singapore, Ma ke Singapore aja yuk." Ajakku.

"Nggak ah, Ra. Libur tahun baru kan paling enak di Eropa, sayang. Kamu aja yang ke sini gimana?"

"Hehe, bayarin mau nggak?" Emang nggak tau diri aku tuh.

Aku dengar Mama berteriak ke Papa dan bertanya mau nggak beliin aku tiket pesawat.

"Papa jawab apa, Ma?"

"Kata Papa setengah Papa yang bayarin."

"Hehe, Emirates Business boleh nggak? Tanya lagi coba, Ma ke Papa." Aku memohon

"Aduh ngelunjak ya kamu. Udahlah naik Garuda Business aja yang murah."

"Oke deh. Makasih Mama dan Papa." Kataku kegirangan.

"Nggak kerja kamu, Ra? Eh udah jam 5 sore ya di sana?" Tanya Mama.

"Jam 6 sore di sini. Mama udah makan?"

"Udah, beli dari catering mahasiswa di sini." Jelas mama.

"Ma, mama pernah bosen nggak jadi Ibu Rumah Tangga?" Kataku tiba-tiba.

Kudengar Mama menghela nafas, "pernah dong, Ra. Ngebesarin kamu di Afrika tahun '92 apa Mama nggak gila? Virus di sana banyak, kamu masih bayi, aduh mama sesak nafas tiap hari. Mau minta bantuan orang lain, mama juga nggak percaya. Makanya jarak kamu sama Abrar jauh banget kan. Mama trauma punya anak."

"Aaaa! Peluk Mama dari jauh." Nggak kebayang betapa besar pengabdian mama sebagai istri dan ibu. "Mama pernah kepikiran cerai nggak? Atau menjalankan pernikahan jarak jauh sama Papa?"

"Nggak pernah kepikiran dua-duanya, Ra. Zaman Mama beda dengan zaman kamu. Mama stress di dalam rumah, ya mama keluar rumah. Mama bete sama Papa, ya udah Papa di ruang kerja, Mama di kamar. Kalau udah dingin kepalanya, salah satunya yang ngomong duluan."

Aku tersenyum mendengarnya, "terus yang banyak ngalah siapa?"

"Dua-duanya, tapi kebanyakan Mama. Papa kan stress kuliah dan kerja, jadi mama yang tau diri aja."

"Oh." Jawabku pendek.

"Kenapa kamu tiba-tiba nanya? Nyesel pisah sama Zidan?"

Aku terbatuk mendengarnya, "ih, Mama kok pertanyaannya malesin siiih."

Mama tertawa, "kamu tuh pisah nggak ada masalahnya sih, Ra. Menurut Mama, kamu belum ikhlas jadi istri waktu itu. Salah Mama dan Papa juga nggak ngajarin kamu jadi istri yang baik gimana."

"Mama nggak pernah belain aku." Ucapku ngambek.

"Bukan gitu. Kalau Mama sih nggak berpikir dia sepenuhnya salah. Pasti ada peran kamu juga di situ. Rumah tangga kan orang dewasanya suami dan istri. Masa anaknya yang salah."

Aku mengalah, "iya sih."

"Anak zaman sekarang tuh ya, anniversary aja harus dirayain. Suami lupa ulang tahun istri, dimarahin." Mama meledekku. "Zaman Mama boro-boro berani untuk marah masalah kayak gitu ke Papa."

Aku tertawa pelan, "terus Mama marah kalau Papa ngapain?"

"Mama sering marah setelah kamu bisa jalan, kan aktif banget dari pagi sampai malam. Mama capek jadi butuh support. Makanya, kalau kamu ada rencana nikah lagi, tolonglah mengalah sedikit."

Sebenarnya, aku udah sering mendengar nasihat itu ketika dulu curhat ke Mama tentang Zidan. Dan aku selalu kagum mendengar mama menceritakan perjuangannya menjadi istri dan ibu. Aku tau, aku belum bisa menyaingi semangat, integritas dan keikhlasannya.

"Ma, Rara resign kerja boleh nggak?" Aku agak takut, tapi kutanyakan juga.

Mama terdengar terkesiap, "hah? Terus ngapain di rumah doang?"

"Nggak tau, Rara bosan, Ma. Mau tinggal sama Mama aja." Ucapku sambil menahan air mata. Hah! Aku jadi sering menangis.

Mama terdiam. Aku juga nggak bisa mengatakan apa-apa. Aku nggak tau ingin resign karena lelah dan bosan atau malas kalau-kalau ketemu Zidan?

"Ra, maafin mama ya. Mama nggak tau bagaimana rasanya bercerai." Nadanya terdengar putus asa. "Terserah Rara aja kalau memang mau tinggal sama kami di sini dan nggak ngapa-ngapain."

"Iya, Ma. Nggak perlu minta maaf." Jawabku pasrah.

"Hmm, kamu dulu nggak begini loh, Ra. Mama jadi takut kalau kamu sedih terus-terusan. Jadi, beneran, terserah Rara." Nada suaranya terdengar khawatir.

Aku menghapus air mata yang jatuh. "Ma, udah dulu ya. Mama Papa jaga kesehatan."

"Iya, kamu juga ya sayang. Kabarin kalau mau beli tiket. Assalamu'alaikum."

Makin tua makin manja nggak sih aku tuh? Dulu kerjaannya ribut sama Mama, sampai-sampai aku memilih SMA dan kuliah jauh dari beliau, tapi sekarang kalau ada apa-apa, beliaulah yang aku hubungi.

Mungkin benar kata Mama, aku ada salahnya juga ketika perceraian itu terjadi.

Fuad
Udah belanja buat piknik besok?

Ah iya, aku janji dengan Fuad untuk ikutan piknik di Port Dickson sama anak-anak dari Rumah Asuh.

Salahku juga sih yang selalu jawab, "oke" kalau ada yang ngajak pergi. Padahal pas hari H tuh rasanya mager banget!

Rahila to Fuad
Oke, besok ketemuan di Rumah Asuh ya.

Fuad
Aku jemput kamu aja. Nanti ada beberapa anak-anak yang naik mobilku juga.

Rahila to Fuad
Okey.

***

Chapter 19, soon!

Jangan lupa vote, komen dan follow akun ini :D makasih

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang